Saturday, August 12, 2006
Pemindahan Blog
Kepada para pembaca YTH,
Menyadari kesulitan membuat kategori dalam blogger, akhirnya diputuskan untuk memindahkan blog ini ke WordPress di mana pengkategorian posting/artikel mudah dilakukan sehingga para pembaca dengan mudah bisa menemukan artikel sesuai dengan kategori.
Mohon maaf sebesar-besarnya. Anda dapat mencari, melihat artikel yang sama di blog ini.
Salam,
Milis Budaya Tionghua moderator Read more
Menyadari kesulitan membuat kategori dalam blogger, akhirnya diputuskan untuk memindahkan blog ini ke WordPress di mana pengkategorian posting/artikel mudah dilakukan sehingga para pembaca dengan mudah bisa menemukan artikel sesuai dengan kategori.
Mohon maaf sebesar-besarnya. Anda dapat mencari, melihat artikel yang sama di blog ini.
Salam,
Milis Budaya Tionghua moderator Read more
Thursday, March 23, 2006
Pemikiran Xun Zi (313 - 238 BC)
Xun Zi ,tokoh Legalisme yang terkenal dengan perkataan "MANUSIA PADA DASARNYA JAHAT" memang bisa disebut anti tesis dari Meng Zi yang mengatakan "MANUSIA PADA DASARNYA BAIK".
Xunzi sendiri menganggap dirinya adalah seorang Confuciust dan menganggap Meng zi itu confuciust yang menyimpang dari ajaran KongZi.
Xun Zi termasuk seorang kritikus, bukan saja Meng Zi yang dikritik tapi gurunya Song Xing juga termasuk yang dikritik.
Yang menarik dari pemikiran Xun Zi adalah ernyataannya mengenai penciptaan. Xun Zi beranggapan bahwa penciptaan itu tidak ada tapi melalui proses dan tiada pencipta. Xun Zi beranggapan jika ada pencipta yang masih memiliki perasaan , emosi , dan keinginan maka pencipta itu cacat dan tidak bisa disebut pencipta.
"Manusia pada dasarnya jahat" tidak sekedar pengucapan begitu saja tapi melalui penelaahan dan perenungan yang mendalam. Bagi Xun Zi , manusia memiliki sifat mutlak yang kita sebut saja "RenXing". RenXing ini sederhana sekali dan kita tidak akan mengingkari bahwa kita memiliki RenXing itu.
Manusia jika lapar akan mencari makanan, jika kedinginan akan mencari kehangatan, jika lelah akan berpikir untuk istirahat, selalu ingin mendapat keuntungan tidak ingin mendapat kerugian.
Karena dasar RenXing inilah maka sosial masyarakat terbentuk. Manusia memiliki keinginan atau pengharapan, jika keinginan tidak terpenuhi maka akan ada keinginan mengejar pengharapan itu. Karena ada kejar mengejar pengharapan maka adanya pertengkaran dan
peperangan. Karena adanya peperangan maka akan ada kemerosotan dalam segala bidang, disitulah akan lahir orang bijak yang akan menata kembali kondisi sosial masyarakat.
Karena adanya RenXing itu maka diperlukan suatu aturan agar manusia bisa terkontrol dalam tindakan ingin memuaskan dirinya. Dan aturan itu bisa mencegah peperangan merebut sumber daya alam.
Terkait dengan lahirnya orang bijak, Xun Zi beranggapan bahwa itu bukan kiriman dari mahluk adi kodrati tapi memang kondisi masyarakat yang membuat hal itu bisa terjadi.
Xun Zi juga beranggapan bintang yang berotasi, bintang jatuh, komet itu tidak ada kaitan dengan para tokoh besar atau tokoh jahat.
Pergerakan bintang , komet , meteor adalah merupakan hukum alam yang memiliki aturan dalil hukum yang membuat pergerakan bintang itu sendiri.
Jadi tidak ada kaitan dengan kaisar Sun atau kaisar Jie. Mahluk adikodrati tidak akan karena kaisar Sun yang bijak atau kaisar Jie yang lalim maka akan berpihak, jika demikian maka mahluk tersebut memiliki keterbatasannya.
source:
http://groups.ya hoo.com/group/budaya_tionghua/message/18270 Read more
Xunzi sendiri menganggap dirinya adalah seorang Confuciust dan menganggap Meng zi itu confuciust yang menyimpang dari ajaran KongZi.
Xun Zi termasuk seorang kritikus, bukan saja Meng Zi yang dikritik tapi gurunya Song Xing juga termasuk yang dikritik.
Yang menarik dari pemikiran Xun Zi adalah ernyataannya mengenai penciptaan. Xun Zi beranggapan bahwa penciptaan itu tidak ada tapi melalui proses dan tiada pencipta. Xun Zi beranggapan jika ada pencipta yang masih memiliki perasaan , emosi , dan keinginan maka pencipta itu cacat dan tidak bisa disebut pencipta.
"Manusia pada dasarnya jahat" tidak sekedar pengucapan begitu saja tapi melalui penelaahan dan perenungan yang mendalam. Bagi Xun Zi , manusia memiliki sifat mutlak yang kita sebut saja "RenXing". RenXing ini sederhana sekali dan kita tidak akan mengingkari bahwa kita memiliki RenXing itu.
Manusia jika lapar akan mencari makanan, jika kedinginan akan mencari kehangatan, jika lelah akan berpikir untuk istirahat, selalu ingin mendapat keuntungan tidak ingin mendapat kerugian.
Karena dasar RenXing inilah maka sosial masyarakat terbentuk. Manusia memiliki keinginan atau pengharapan, jika keinginan tidak terpenuhi maka akan ada keinginan mengejar pengharapan itu. Karena ada kejar mengejar pengharapan maka adanya pertengkaran dan
peperangan. Karena adanya peperangan maka akan ada kemerosotan dalam segala bidang, disitulah akan lahir orang bijak yang akan menata kembali kondisi sosial masyarakat.
Karena adanya RenXing itu maka diperlukan suatu aturan agar manusia bisa terkontrol dalam tindakan ingin memuaskan dirinya. Dan aturan itu bisa mencegah peperangan merebut sumber daya alam.
Terkait dengan lahirnya orang bijak, Xun Zi beranggapan bahwa itu bukan kiriman dari mahluk adi kodrati tapi memang kondisi masyarakat yang membuat hal itu bisa terjadi.
Xun Zi juga beranggapan bintang yang berotasi, bintang jatuh, komet itu tidak ada kaitan dengan para tokoh besar atau tokoh jahat.
Pergerakan bintang , komet , meteor adalah merupakan hukum alam yang memiliki aturan dalil hukum yang membuat pergerakan bintang itu sendiri.
Jadi tidak ada kaitan dengan kaisar Sun atau kaisar Jie. Mahluk adikodrati tidak akan karena kaisar Sun yang bijak atau kaisar Jie yang lalim maka akan berpihak, jika demikian maka mahluk tersebut memiliki keterbatasannya.
source:
http://groups.ya hoo.com/group/budaya_tionghua/message/18270 Read more
Tuesday, February 21, 2006
SILSILAH DAN RIWAYAT SINGKAT KONGZI
A. Nenek Moyang Nabi Kongzi yang perlu diketahui:
1. Raja Suci Huang Di (2698 SM-2598 SM): Seorang Raja Suci purba yang berjasa
besar dalam membangun peradaban dan kebudayaan serta mengatur tata pemerintahan.
2. Xie, seorang menteri Pendidikan pada jaman Raja Yao (2357 SM-2255 SM) dan Raja Shun (2255 SM-2205 SM).
3. Cheng Tang, pendiri Dinasti Shang atau Yin (1766 SM-1122 SM).
4. Wei-zi Qi, kakak tertua Raja Zhou, Raja terakhir dinasti Shang.
Setelah dinasti Shang roboh Wei-zi Qi diangkat menjadi Raja Muda yang pertama di Negeri Song. Karena tidak mempunyai anak, adiknya yang bernama Wei Zhong diangkat sebagai penerusnya. Wei Zhong inilah yang menurunkan Raja-raja Muda Negeri Song.
5. Kong-fu Jia, seorang bangsawan Negeri Song keturunan Wei Zhong pertama kali
menggunakan nama keluarga Kong/Khong. Sedang sebelumnya mereka adalah orang
bermarga Zi seperti Raja-raja dinasti Shang.
6. Kong-fang Shu, seorang bangsawan keturunan Kong-fu Jia mengungsi dari Negeri
Song ke Negeri Lu karena terjadi kekalutan politik. Kong-fang Shu mempunyai anak
Kong-bo Xia dan Kong-bo Xia mempunyai anak Kong He alias Shu Liang, dan orang
biasa menyebut beliau Shu Liang He. Beliaulah ayah Nabi Kongzi.
B. Keluarga Nabi Kongzi
Nabi Kongzi adalah putra bungsu Shu Liang He. Beliau mempunyai 9 kakak perempuan
dan seorang kakak laki-laki yang cacat kaki bernama Meng-pi. Ibu Nabi bernama
Yan Zheng Zai. Beliau lahir pada tanggal 27 Ba Yue 551 SM di Negeri Lu (di
Zhongguo dan Taiwan hari lahir beliau disesuaikan penanggalan Masehi menjadi 28
September), Kota Zou Yi, Desa Chang Ping di lembah Kong Song (kini di jasirah
Shandong kota Qu Fu). Nama kecil Nabi adalah Qiu yang berarti bukit alias Zhong
Ni yang artinya putera kedua dari bukit Ni, beliau menikah dengan puteri Negeri
Song yang bermarga Jian Guan. Dari pernikahan ini mendapat seorang putera yang
diberi nama Li yang berarti ikan gurami alias Bo Yu. Diberi nama demikian karena
pada kelahiran putera ini Nabi telah diantari ikan gurami oleh Raja Muda Negeri
Lu yang panggilannya Lu Zhao Gong. Disamping Li, Nabi masih mempunyai dua orang
puteri yang seorang menjadi isteri Gong-ye Chang, murid Nabi.
C. Peristiwa-peristiwa Dalam Hidup Nabi
1. Usia 3 tahun ayah beliau wafat.
2. Usia 6 tahun telah menunjukkan sifat-sifat kenabiannya; dalam bermain senang mengajak dan memimpin kawan-kawannya menirukan orang melakukan ibadah dan sembahyang.
3. Usia 15 tahun beliau telah memiliki semangat belajar yang luar biasa.
4. Usia 19 tahun menikah dengan seorang gadis dari marga Jian Guan dari Negeri Song.
5. Usia 20 tahun diangkat menjadi Menteri lumbung oleh Keluarga Besar Ji.
6. Usia 21 tahun dikarunia seorang putera yang diberi nama Li alias Bo Yu.
7. Usia 24 tahun, ibu beliau wafat (ada yang mengatakan ibu Yan Zheng Cai wafat ketika beliau berusia 17 tahun). Beliau berkabung 3 tahun. Jenasah kedua orang tuanya dimakamkan di gunung Fang Shan. Setelah selesai masa berkabung beliau sudah banyak menerima murid.
8. Usia 29 tahun beliau belajar musik kepada Shi Xiang, seorang guru musik yang termasyur.
9. Usia 30 tahun disertai dua orang murid: Nan-gong Jing-shu dan Meng-yi Zi (keduanya putera bangsawan besar keluarga Meng, yakni Meng-xi Zi. Beliau berkunjung ke Ibukota Negeri Zhou untuk mempelajari Li (Kesusilaan) dan peradaban dinasti Zhou, disana beliau bertemu dengan penjaga perpustakaan kerajaan bernama Lao Dan dan guru musik bernama Chang Hong.
10. Usia 35 tahun beliau ke Negeri Qi karena di Negeri Lu terjadi kekalutan dan
Raja mudanya Lu Zhao Gong lari ke Negeri Qi. Waktu itu Negeri Qi diperintah oleh
Raja Muda Qi JIng Gong dengan perdana menterinya Yan Ying atau Yan Ping Zhong
yang terkenal pandai.
11. Usia 36 tahun beliau kembali ke Negeri Lu dan meneruskan mendidik murid-muridnya.
12. Usia 51 tahun sampai 55 tahun beliau aktif dalam pemerintahan yang waktu itu
Raja Mudanya ialah Lu Ding Gong. Beliau pernah menjabat sebagai Walikota Zhong
Dou dan menteri pekerjaan umum. Jabatan yang tertinggi dan terakhir adalah sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Kehakiman Da Si Kou.
13. Usia 56 tahun pada hari Dong Zhi meninggalkan Negeri Lu dan mulai pengembaraannya ke berbagai Negeri sebagai Mu-Duo (Genta Rohani Tuhan). TIAN Tuhan Yang Maha Esa telah mengutus-Nya sebagai Nabi Segala Masa, Yang Lengkap, Besar dan Sempurna/Ji Da Cheng. Beliau mengembara lebih kurang 13 tahun.
14. Tahun 483 SM Li atau Bo Yu, putera beliau meninggal dunia.
15. Tahun 482 SM Yan Hui, Murid yang termaju dan diharapkan menjadi penerus beliau meninggal dunia.
16. Tahun 481 SM salah seorang pegawai Keluarga Besar Ji Kang Zi telah membunuh
Qi Lin dalam perburuan Raja Muda Lu Ai Gong.
17. Akhir tahun 480 SM Zi Lu atau Zhong You (murid beliau yang gagah berani penuh kejujuran) gugur di Negeri Wei karena disana terjadi pemberontakan.
18. Tanggal 18 Er Yue. Nabi Wafat.
19. Raja Muda-Raja Muda Lu yang memerintah selama masa hidup Nabi ialah: Lu Xiang Gong, Lu Zhao Gong, Lu Ding Gong dan yang terakhir Lu Ai Gong.
D. Gelar Anumerta Yang Pernah Disandangkan Kepada Nabi Kongzi ialah:
1. Oleh Raja Lu Ai Gong diberi sebutan Ni Fu yang bermakna Bapak Yang Mulia Ni.
2. Oleh Kaisar dinasti Han : Han Ping Di diberi gelar Cheng Xuan Ni Gong yang
bermakna Pangeran Ni Yang Sempurna dan Cerah Batin.
3. Pada tahun 492 gelar itu diubah menjadi Wen Sheng Ni Fu yang bermakna Yang
Mulia Bapak Ni Nabi Yang Menyeluruh Sempurna.
4. Oleh Kaisar Shun Zhi, Kaisar Pertama dinasti Man-cu pada tahun 1645 diubah
gelar itu menjadi Da Cheng Zhi Sheng, Wen Xuan Xian Shi Kong Zi yang bermakna
Kongzi Guru Purba Yang Cerah Menyeluruh, Nabi Agung Yang Besar Sempurna. Tetapi
12 tahun kemudian gelar itu disingkat menjadi Zhi Sheng Xian Shi Kong Zi yang
bermakna Kongzi Guru Purba Nabi Agung.
5. Gelar untuk Nabi Kongzi yang tersurat di dalam Kitab Si Shu antara lain Tian
Zhi Mu Duo yang bermakna Genta Rokhani Tuhan; Zhi Cheng yang bermakna yang
sempurna iman; Zhi Sheng yang bermakna Nabi Agung dan Ji Da Cheng yang bermakna
Nabi Yang Lengkap Besar dan Sempurna.
6. Di dalam Kitab Mengzi 5B 1/5 disuratkan "Bo Yi, ialah Nabi Kesucian; Yi Yin
ialah Nabi Kewajiban; Liu Xia Hui ialah Nabi Keharmonisan; dan Nabi Kongzi ialah
Nabi Segala Masa. Maka Nabi Kongzi dinamai yang lengkap, besar dan sempurna.
Yang dimaksud dengan lengkap, besar dan sempurna ialah seperti suara musik yang
lengkap dengan lonceng dari logam dan lonceng dari batu kumala (Jin Sheng Yu
Zhen yang menjadi lambang majalah kita Genta Harmoni). Suara lonceng dari logam
sebagai pembuka lagu dan lonceng dari batu kumala sebagai penutup lagu. Sebagai
pembuka lagu yang memadukan keharmonisan menunjukkan kebijaksanaanNya dan
sebagai penutup lagu menunjukkan paripurnanya karya kenabianNya".
http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=KongHuCu&id=108868
Minggu, 5 Februari 2006
SILSILAH DAN RIWAYAT SINGKAT NABI KONGZI
Oleh : XS. TJHIE TJAY ING
posted by : Ambon"
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/17468
Read more
1. Raja Suci Huang Di (2698 SM-2598 SM): Seorang Raja Suci purba yang berjasa
besar dalam membangun peradaban dan kebudayaan serta mengatur tata pemerintahan.
2. Xie, seorang menteri Pendidikan pada jaman Raja Yao (2357 SM-2255 SM) dan Raja Shun (2255 SM-2205 SM).
3. Cheng Tang, pendiri Dinasti Shang atau Yin (1766 SM-1122 SM).
4. Wei-zi Qi, kakak tertua Raja Zhou, Raja terakhir dinasti Shang.
Setelah dinasti Shang roboh Wei-zi Qi diangkat menjadi Raja Muda yang pertama di Negeri Song. Karena tidak mempunyai anak, adiknya yang bernama Wei Zhong diangkat sebagai penerusnya. Wei Zhong inilah yang menurunkan Raja-raja Muda Negeri Song.
5. Kong-fu Jia, seorang bangsawan Negeri Song keturunan Wei Zhong pertama kali
menggunakan nama keluarga Kong/Khong. Sedang sebelumnya mereka adalah orang
bermarga Zi seperti Raja-raja dinasti Shang.
6. Kong-fang Shu, seorang bangsawan keturunan Kong-fu Jia mengungsi dari Negeri
Song ke Negeri Lu karena terjadi kekalutan politik. Kong-fang Shu mempunyai anak
Kong-bo Xia dan Kong-bo Xia mempunyai anak Kong He alias Shu Liang, dan orang
biasa menyebut beliau Shu Liang He. Beliaulah ayah Nabi Kongzi.
B. Keluarga Nabi Kongzi
Nabi Kongzi adalah putra bungsu Shu Liang He. Beliau mempunyai 9 kakak perempuan
dan seorang kakak laki-laki yang cacat kaki bernama Meng-pi. Ibu Nabi bernama
Yan Zheng Zai. Beliau lahir pada tanggal 27 Ba Yue 551 SM di Negeri Lu (di
Zhongguo dan Taiwan hari lahir beliau disesuaikan penanggalan Masehi menjadi 28
September), Kota Zou Yi, Desa Chang Ping di lembah Kong Song (kini di jasirah
Shandong kota Qu Fu). Nama kecil Nabi adalah Qiu yang berarti bukit alias Zhong
Ni yang artinya putera kedua dari bukit Ni, beliau menikah dengan puteri Negeri
Song yang bermarga Jian Guan. Dari pernikahan ini mendapat seorang putera yang
diberi nama Li yang berarti ikan gurami alias Bo Yu. Diberi nama demikian karena
pada kelahiran putera ini Nabi telah diantari ikan gurami oleh Raja Muda Negeri
Lu yang panggilannya Lu Zhao Gong. Disamping Li, Nabi masih mempunyai dua orang
puteri yang seorang menjadi isteri Gong-ye Chang, murid Nabi.
C. Peristiwa-peristiwa Dalam Hidup Nabi
1. Usia 3 tahun ayah beliau wafat.
2. Usia 6 tahun telah menunjukkan sifat-sifat kenabiannya; dalam bermain senang mengajak dan memimpin kawan-kawannya menirukan orang melakukan ibadah dan sembahyang.
3. Usia 15 tahun beliau telah memiliki semangat belajar yang luar biasa.
4. Usia 19 tahun menikah dengan seorang gadis dari marga Jian Guan dari Negeri Song.
5. Usia 20 tahun diangkat menjadi Menteri lumbung oleh Keluarga Besar Ji.
6. Usia 21 tahun dikarunia seorang putera yang diberi nama Li alias Bo Yu.
7. Usia 24 tahun, ibu beliau wafat (ada yang mengatakan ibu Yan Zheng Cai wafat ketika beliau berusia 17 tahun). Beliau berkabung 3 tahun. Jenasah kedua orang tuanya dimakamkan di gunung Fang Shan. Setelah selesai masa berkabung beliau sudah banyak menerima murid.
8. Usia 29 tahun beliau belajar musik kepada Shi Xiang, seorang guru musik yang termasyur.
9. Usia 30 tahun disertai dua orang murid: Nan-gong Jing-shu dan Meng-yi Zi (keduanya putera bangsawan besar keluarga Meng, yakni Meng-xi Zi. Beliau berkunjung ke Ibukota Negeri Zhou untuk mempelajari Li (Kesusilaan) dan peradaban dinasti Zhou, disana beliau bertemu dengan penjaga perpustakaan kerajaan bernama Lao Dan dan guru musik bernama Chang Hong.
10. Usia 35 tahun beliau ke Negeri Qi karena di Negeri Lu terjadi kekalutan dan
Raja mudanya Lu Zhao Gong lari ke Negeri Qi. Waktu itu Negeri Qi diperintah oleh
Raja Muda Qi JIng Gong dengan perdana menterinya Yan Ying atau Yan Ping Zhong
yang terkenal pandai.
11. Usia 36 tahun beliau kembali ke Negeri Lu dan meneruskan mendidik murid-muridnya.
12. Usia 51 tahun sampai 55 tahun beliau aktif dalam pemerintahan yang waktu itu
Raja Mudanya ialah Lu Ding Gong. Beliau pernah menjabat sebagai Walikota Zhong
Dou dan menteri pekerjaan umum. Jabatan yang tertinggi dan terakhir adalah sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Kehakiman Da Si Kou.
13. Usia 56 tahun pada hari Dong Zhi meninggalkan Negeri Lu dan mulai pengembaraannya ke berbagai Negeri sebagai Mu-Duo (Genta Rohani Tuhan). TIAN Tuhan Yang Maha Esa telah mengutus-Nya sebagai Nabi Segala Masa, Yang Lengkap, Besar dan Sempurna/Ji Da Cheng. Beliau mengembara lebih kurang 13 tahun.
14. Tahun 483 SM Li atau Bo Yu, putera beliau meninggal dunia.
15. Tahun 482 SM Yan Hui, Murid yang termaju dan diharapkan menjadi penerus beliau meninggal dunia.
16. Tahun 481 SM salah seorang pegawai Keluarga Besar Ji Kang Zi telah membunuh
Qi Lin dalam perburuan Raja Muda Lu Ai Gong.
17. Akhir tahun 480 SM Zi Lu atau Zhong You (murid beliau yang gagah berani penuh kejujuran) gugur di Negeri Wei karena disana terjadi pemberontakan.
18. Tanggal 18 Er Yue. Nabi Wafat.
19. Raja Muda-Raja Muda Lu yang memerintah selama masa hidup Nabi ialah: Lu Xiang Gong, Lu Zhao Gong, Lu Ding Gong dan yang terakhir Lu Ai Gong.
D. Gelar Anumerta Yang Pernah Disandangkan Kepada Nabi Kongzi ialah:
1. Oleh Raja Lu Ai Gong diberi sebutan Ni Fu yang bermakna Bapak Yang Mulia Ni.
2. Oleh Kaisar dinasti Han : Han Ping Di diberi gelar Cheng Xuan Ni Gong yang
bermakna Pangeran Ni Yang Sempurna dan Cerah Batin.
3. Pada tahun 492 gelar itu diubah menjadi Wen Sheng Ni Fu yang bermakna Yang
Mulia Bapak Ni Nabi Yang Menyeluruh Sempurna.
4. Oleh Kaisar Shun Zhi, Kaisar Pertama dinasti Man-cu pada tahun 1645 diubah
gelar itu menjadi Da Cheng Zhi Sheng, Wen Xuan Xian Shi Kong Zi yang bermakna
Kongzi Guru Purba Yang Cerah Menyeluruh, Nabi Agung Yang Besar Sempurna. Tetapi
12 tahun kemudian gelar itu disingkat menjadi Zhi Sheng Xian Shi Kong Zi yang
bermakna Kongzi Guru Purba Nabi Agung.
5. Gelar untuk Nabi Kongzi yang tersurat di dalam Kitab Si Shu antara lain Tian
Zhi Mu Duo yang bermakna Genta Rokhani Tuhan; Zhi Cheng yang bermakna yang
sempurna iman; Zhi Sheng yang bermakna Nabi Agung dan Ji Da Cheng yang bermakna
Nabi Yang Lengkap Besar dan Sempurna.
6. Di dalam Kitab Mengzi 5B 1/5 disuratkan "Bo Yi, ialah Nabi Kesucian; Yi Yin
ialah Nabi Kewajiban; Liu Xia Hui ialah Nabi Keharmonisan; dan Nabi Kongzi ialah
Nabi Segala Masa. Maka Nabi Kongzi dinamai yang lengkap, besar dan sempurna.
Yang dimaksud dengan lengkap, besar dan sempurna ialah seperti suara musik yang
lengkap dengan lonceng dari logam dan lonceng dari batu kumala (Jin Sheng Yu
Zhen yang menjadi lambang majalah kita Genta Harmoni). Suara lonceng dari logam
sebagai pembuka lagu dan lonceng dari batu kumala sebagai penutup lagu. Sebagai
pembuka lagu yang memadukan keharmonisan menunjukkan kebijaksanaanNya dan
sebagai penutup lagu menunjukkan paripurnanya karya kenabianNya".
http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=KongHuCu&id=108868
Minggu, 5 Februari 2006
SILSILAH DAN RIWAYAT SINGKAT NABI KONGZI
Oleh : XS. TJHIE TJAY ING
posted by : Ambon"
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/17468
Tuesday, February 14, 2006
Indonesia & Tionghoa: Sebutan ¨Tiongkok〃, ¨Tionghoa dan ¨Cina〃?
Oleh: Prof.Kong Yuan Zhi
Universitas BeiJing
Presiden Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun lebih akhirnya turun panggung pada tahun 1998 Mei 21. Seiring dengan makin mendalamnya gerakan demokrasi dan reformasi, politik diskriminasi terhadap orang Tionghoa di Indonesia juga mendapatkan perubahan. Berbagai partai politik, organisasi dan organ-media orang Tionghoa, berbondong-bondong mengajukan penggantian kembali sebutan ¨Cina〃 menjadi ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Dan masalah tersebut telah menjadi perdebatan hangat didalam masyarakat.
Sebenarnya yang mana lebih tepat, sebutan ¨Tiongkok〃 atau ¨Cina〃? Sebutan ¨Zhong Hua Ren Min Gong He Guo〃 menjadi ¨Republik Rakyat Tiongkok〃 atau ¨Repiblik Rakyat Cina〃? Lalu, sebutan Keturunan Tionghoa atau Keturunan Cina bagi ¨Hua Yi〃 di Indonesia? Dimana makna ¨Cina〃 yang mengandung penghinaan itu sesungguhnya?
Yang pasti, sebutan yang tepat terhadap satu negara, ¨Tiongkok〃 atau ¨Cina〃 adalah masalah kehormatan, begitu juga sebutan terhadap orang Hua di Indonesia menjadi ¨orang ¨Tionghoa〃 atau orang ¨Cina〃 adalah masalah kehormatan bagi mereka. Tiongkok dan berbagai lapisan rakyat di Indonesia sangat memperhatikan masalah-masalah sensitif ini, masalah wajar yang terjadi dalam hubungan perasaan sesama manusia.
Ijinkanlah saya mengajukan pendapat-pendapat pribadi saya mengenai masalah ini.
1. Asal-usul sebutan ¨Tiongkok〃 dan ¨Cina〃.
Kalau kita usut sebutan ¨Tiongkok〃 dari dinasti Shang, dimana ketika itu daratan Tiongkok terpecah jadi banyak negara-negara atau kerajaan kecil, sebentar tunduk, sebentar mengchianati kerajaan Shang. Ketika dinasti Shang menguasai wilayah ditengah-tengah kerajaan yang berada disebelah Timur, Barat, Utara dan Selatan, maka negara kerajaan ini disebut ¨Tiongkok〃 (Zhong Guo dalam lafal bahasa daerah Hokian, yang juga berarti Negara-Tengah).
Sebenarnya, kalau diteliti lebih jauh, istilah ¨Tiongkok〃 sudah muncul didalam ¨ Kumpulan Sajak-kuno〃 jaman kerajaan Zhou. Kerajaan Zhou Barat menyatakan daratan dan kerajaan ditengah sebagai ¨Tiongkok〃, yang merupakan daerah central dan pusat kebudayaan. Begitulah kemudian setelah makin bersatunya bangsa Tionghoa menggunakan sebutan ¨Tiongkok〃 sampai saat kini.
Sedangkan istilah ¨China〃 yang biasa disebutkan orang asing pada ¨Tiongkok sebenarnya adalah netral saja. Sebagaimana penulis pernah menyatakan, jauh pada
pertengahan abad 7, seorang Biksu Zheng (Pendeta Budha) ternama Tiongkok ke India ¨Melawat Ke-Barat〃, menyatakan orang India menyebut Tiongkok sebagai ¨Moko China〃. Didalam ¨Riwayat Biksu-Chi Shi〃 juga tercatat dengan menjelaskan ¨China〃 sebagai ¨Kebudayaan China〃. Didalam ¨Kumpulan Istilah Terjemahan〃 dari Song She Fa Wen, disebut: ¨ China sebagai satu negara budaya.
Yang memuji negera tersebut sebagai tempat mendapatkan baju-pakaian〃. Hingga jaman kini, Biksu Sumansu berpendapat, ¨Istilah China, bukan berasal dari bunyi dinasti ˉQinˇ, karena dalam sajak kuno India ˉMokoborotoˇ sudah menyebutkan panggilan china itu〃. Berdasarkan buku dari India dimasa dinasti Boroto, yaitu dimasa dinasti Shang di Tiongkok pada tahun 1400 SebelumMasehi, sudah digunakan istilah ¨China〃. Dengan demikian jelas, bahwa ¨China〃 tidak ada hubungan dengan ¨Qin〃, juga tidak mungkin lebih dahulu adanya jaman-porselen, baru muncul sebutan ¨China〃 sebagai Tiongkok. Sementara orang beranggapan ¨China〃 muncul dari istilah ¨Jing〃 yaitu Negara Chu.
Pada saat jenderal Zhuang meresmikan dirinya sebagai raja negara Chu diabad 4 Sebelum Masehi. Ketika itu didalam tulisan-tulisan di India, Persia dan Eropah sudah muncul sebeutan ¨China〃 untuk Tiongkok. Sedangkan berdasarkan ¨Encyclopedia〃 terbitan
terbaru, menyatakan ¨China〃 berasal dari bunyi ¨Qin〃 dinasti. Dan ¨Encyclopedia〃 ini secara sepintas menyatakan ucapan Biksu Zheng Yi Jing dari dinasti ¨Tang〃 bahwa orang barat menyebutkan negara ¨Tang〃 sebagai ¨China〃. Sementara pelajar diluar negeri juga tidak setuju menyatakan bahwa ¨China〃 berasal dari bunyi ¨Qin〃 dinasti.
Pada saat ini sebutan dunia barat pada Tiongkok, sebagaimana seorang Profesor bahasa Latin menyatakan: ¨ istilah ˉZhong Guoˇ didalam bahasa Inggris menjadi ˉChinaˇ, bahasa Perancis menjadi ˉChineˇ, bahasa Jerman menjadi ˉChinaˇ adalah perubahan dari bahasa latin ˉCinaˇ. Di Jepang, istilah ¨China〃 baru muncul sekitar pertengahan jaman Dinasti Ming. ¨Ditahun 1895, Jepang dari Persetujuan ˉMaKwanˇ mendapatkan 200 juta gr Emas dan pulau Taiwan〃. Ketika itu orang Jepang berteriak girang :〃Jepang menang! China kalah!〃 Dengan demikian, sejak saat itu mulailah dari menghormati Tiongkok menjadi memandang rendah dan menghina. Dari peperangan itulah, Jepang menyebut Tiongkok yang semula Morokoshi Kara menjadi ¨China〃. Tiongkok sebagai negara kalah perang didalam perang Tiongkok-Jepang (1894 - 1895). Dan sebagai
penyelidik jalan menuju negara perkasa, serombongan pemuda Tionghoa belajar ke
Jepang. ¨Diantara orang Tionghoa ketika itu, tidak sedikit yang merasa istilah
ˉnegara Qingˇ mengandung arti negara asing menguasai Tiongkok, maka sangat "membencinya〃. Misalnya, Liang Qi Chau dan Huang Xing adalah yang berpendapat
demikian.
2. Tiongkok〃, ¨Tionghoa〃 dan ¨Cina〃 dalam sejarah Indonesia.
Perkembangan Bahasa Indonesia berasal dan berdasarkan bahasa Melayu. Didalam karya sastra klasik bahasa Melayu, seperti ¨Riwayat Hang Tuah〃 dan ¨Peringatan Melayu〃 di abad 17 sudah menyebut ¨Tiongkok〃 sebagai ¨Cina〃. Dan disini tidak ada pengertian menghina, begitulah di Malaya dari dahulu sampai sekarang menyebut ¨Tiongkok〃 dengan ¨Cina〃. Sebelum abad 20, di Indonesia juga menyebut ¨Cina〃 pada ¨Tiongkok〃.
Seiring dengan perkembangan gerakan nasional Indonesia, ditahun 1900 orang Tionghoa di Indonesia mendirikan ¨Tionghoa Hui Kwan〃. Dan ditahun itu juga membangun sekolah-sekolah Tionghoa. Pengenalan Hoakiao terhadap tanah leluhurnya makin dalam dan hubungannya juga makin rapat, ¨dari sebelumnya menyebut Cina sebagai Zhong Guo, dan orang Cina sebagai orang Tiongkok, kemudian dirubah menjadi Tiongkok untuk negara dan Tionghoa untuk sebutan orang.〃
Pada tahun 1897, perantau Jepang di Indonesia mendapatkan hak yang sama dengan orang Eropah, ini tentunya sehubungan dengan kuatnya negara Jepang. Hal ini telah membangkitkan kesadaran nasioanal Huakiao. Tahun 1910 pemerintah kolonial Belanda menentukan 3 tingkat warga dalam undang-undang kewarganegaraan: Warga klas-1 adalah orang Eropah (Termasuk orang Jepang); Warga klas-2 adalah orang asing Timur (Terutama orang Tionghoa) dan warga klas-3 adalah orang Indonesia, yang disebut pribumi. Inilah manifestasi politik ¨Perpecahan〃 yang dilakukan kolonial Belanda. Penguasa kolonial Belanda menggunakan istilah ¨Cina〃 untuk menghina para Huakiao, oleh karenanya membuat mayoritas Huakiao sangat jengkel dengan sebutan tersebut.
Sun Yat Sen pada tahun 1905 di Tokio mendirikan Perserikatan Tiongkok, yang menentukan program ¨Pengguntingan kuncir, pemulihan Tionghoa, mendirikan nasion yang mempunayi hak sederajat〃. Dan ditahun 1911 dibawah pimpinan Sun Yat Sen, revolusi Sing-hai menggulingkan dinasti feodal ¨Qing〃, mendirikan Republik Tiongkok, dan setelah itu Huakiao di Indonesia menyebut dirinya sebagai orang Tiongkok, menggantikan istilah ¨Cina〃 dengan ¨Tiongkok〃 untuk sebutan negara dan ¨Tionghoa〃 untuk sebutan orang, sebagai satu sikap memperlakukan ¨hasil kemenangan revolusi Rakyat Tiongkok〃. Dengan demikian memastikan bahwa istilah ¨Cina〃 adalah bermakna penghinaan yang tidak seharusnya digunakan lagi.
Anggaran dasar Tionghoa Hui Kwan pada tahun 1928 juga secara resmi merubah ¨Cina〃 jadi ¨Tionghoa〃. Dan pada tahun itu juga, Gubernur Belanda juga secara resmi menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃.
Sejak saat itu, tokoh-tokoh perjuangan nasionalis melawan penjajah Belanda seperti Tjipto Mangunkusumo, Kihajar Dewantoro, Tjokroaminoto, Sutomo dan Sukarno dll. Semua juga sudah menggunakan sebutan ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Tidak lagi menggunakan istilah ¨Cina〃. Sejak Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan ditahun 1945 sampai sebelum peristiwa ¨G30S〃 1965, pemerintah Indonesia tegas dalam pendirian ini. Termasuk press-media seluruhnya menggunakan ¨Republik Rakyat Tiongkok〃, tidak satupun yang menggunakan ¨Republik Rakyat Cina〃 dan tidak menyatakan orang Tiongkok sebagai orang Cina.
Perlu ditekankan disini, pada saat pembukaan hubungan diplomatik Tiongkok-Indonesia di tahun 1950, didalam dokomen resmi yang ditandatangi kedua belah pihak juga menggunakan Republik Rakyat Tiongkok untuk sebutan ¨Zhong Hua Ren Min Gong He Guo〃, dan selanjutnya pihak pemerintah Indonesia dalam hubungan surat resmi juga menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 untuk ¨Zhong Guo〃 dan ¨Tionghoa〃 untuk ¨Zhong Hua〃, sebagai sebutan pada Zhong Guo untuk negara dan orang Tionghoa untuk orang Hua (Hua Ren). Jadi jelas, setelah memasuki abad 20 ini, istilah ¨Cina〃 yang mengandung makna menghina itu sudah tidak digunakan lagi dan yang jelas sangat menyakiti hati para Huakiao itu bisa dimengerti secara baik oleh suku-suku lainnya.
Perlu juga diingat, selama Puluhan tahun itu, Pemerintah Indonesia tetap saja selalu menyatakan mentaati Undang-Undang Dasar 1945. Sedang ayat-pertama Pasal 10 ¨Warganegara〃, jelas menyatakan orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai peranakan Tionghoa, dan tidak menggunakan istilah ¨Cina〃.
3. Pemerintah Soeharto mengganti ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃 jadi ¨Cina〃.
Tak lama setelah meletus peristiwa ¨G30S〃, di Indonesia terjadi arus anti Tiongkok dan anti Tionghoa. Tidak hanya di suratkabar, bahkan di tembok kedutaan Tiongkok di Jakarta juga dicoret ¨Ganyang Cina〃 dll semboyan anti Tiongkok dan anti Tionghoa.
Seminar Angkatan Darat ke-2 yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1966 Agustus 25 31, wakil panglima AD Panggabean dalam laporan kesimpulan Seminar pada Suharto -- pimpinan Kabinet menyatakan, ¨Demi memulihkan dan keseragaman penggunaan istilah dan bahasa yang dipakai secara umum diluar dan dalam negeri terhadap sebutan negara dan warganya, dan terutama menghilangkan rasa rendah-diri rakyat negeri kita, sekaligus juga untuk menghilangkan segolongan warga negeri kita yang superior, kami melaporkan pada yang mulia, keputusan Seminar untuk memulihkan penggunaan istilah ¨Republik Rakyat Tjina〃 (ZhiNa Ren Min Gong He Guo) dan ¨warganegara Tjina〃 (ZhiNa Gong Min), sebagai ganti sebutan ¨Republik Rakyat Tiongkok〃 dan warga-nya. Dari segi pandang sejarah dan masyarakat, keputusan tersebut adalah tepat.〃 (Setelah penggunaan ejaan baru, Tjina berubah jadi Cina) Bersamaan dengan itu, salah seorang peserta Seminar Letjen Soemitro, didepan pertemuan dengan wartawan mengumumkan Republik Rakyat Tiongkok sebagai Neokolonialisme salahsatu negara imperialis, yaitu
Tjinkolim (Tjina Kolonialisme-imperialisme).
25 Juli 1967, Presidium Kabinet mensahkan keputusan Seminar Angkatan Darat untuk menggunakan istilah ¨Cina〃 sebagai ganti istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. ¨Presidum Kabinet setelah mempertimbangkan sejarah penggunaan istilah ˉCinaˇ dan sebagai istilah yang disenangi rakyat Indonesia, menyatakan keputusan yang dianjurkan Seminar Angkatan Darat adalah tepat.〃 Kemudian juga dinyatakan, ¨Pernyataan tersebut adalah untuk menyatukan bahasa dan peningkatan efisiensi, menghindari adanya dualisme dalam penggunaan bahasa didalam aparat negara〃. Dengan demikian, secara resmi pemerintah Indonesia menggunakan istilah ¨Cina〃 untuk menggantikan ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃.
4. Reaksi dengan digunakannya istilah ¨Cina〃
* Reaksi Pemerintah Tiongkok
Sejak akhir Agustus 1966, setelah wakil panglima AD melaporkan keputusan pada Soeharto untuk mengganti nama Republik Rakyat Tiongkok, pengumuman resmi pemerintah, siaran Radio-TV dan suratkabar berturut-turut merubah sebutan Republik Rakyat Tiongkok menjadi ¨Republik Rakyat Tjina〃 dan menyebut warga Tionghoa menjadi ¨warga Tjina〃. Pembicaraan Pejabat Menteri Luar Negeri Diah, didepan konfrensi-press 20 September dan Pernyataan Menteri Luar Negeri 23 September mengenai pengiriman kapal dari Tiongkok untuk mengangkut Huakiao yang dipersekusi, telah mulai menggunakan istilah ¨Cina〃 tersebut. Untuk itu, pihak Tiongkok melalui ¨Harian Rakyat〃 pada 27 Oktober menyiarkan editorial:
¨Perubahan sepihak pemerintah Indonesia atas sebutan nama negara Tiongkok, adalah penghinaan besar terhadap Rakyat Tiongkok〃, dan Rakyat Tiongkok menyatakan ¨sangat marah〃 atas sikap pemerintah Indonesia yang tidak bersahabat tersebut.
Editorial lebih lanjut menyatakan: ¨Umum sudah mengetahui bahwa ˉCinaˇ ketika Indonesia pada masa dikuasai oleh kaum imperialis dan kolonialis, adalah istilah yang digunakan untuk menghina rakyat Tiongkok.〃
Dan oleh karenanya, pemerintah Tiongkok telah mengajukan protes berulang kali atas penggantian istilah nama negara secara sepihak oleh pemerintah Indonesia. 28 Pebruari 1967 Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, mengundang Duta Besar Tiongkok untuk menghadiri pembukaan ¨Sidang Istimewa〃 MPRS, secara gegabah merubah Republik Rakyat Tiongkok menjadi ¨Republik Tiongkok〃. Setelah diprotes dengan keras, pihak pimpinan MPRS pada tanggal 3 Maret sekali lagi melempar undangan dengan merubah nama Republik Rakyat Tiongkok menjadi ¨Republik Rakyat Tjina〃. Untuk itu, sekali lagi pihak Duta Besar kami secara tegas dan keras protes terhadap sikap pemerintah Indonesia tersebut.
14 Mei tahun yang sama, pihak kementerian luar negeri Indonesia mengirim surat resmi pada Duta Besar kami, sekali lagi merubah nama negara Republik Rakyat Tiongkok menjadi ¨Repblik Rakyat Tjina〃, dan Duta Besar kami untuk kesekian kalinya mengajukan protes sekeras-kerasnya. Menyatakan tindakan pemerintah Indonesia demikian itu adalah satu penghinaan dan provokasi yang serius terhadap Republik Rakyat Tiongkok.
Pada tanggal 4 Desember 1989, delegasi Tiongkok yang dipimpin oleh wakil Menlu Shu Guo Xin tiba di Jakarta, untuk memperbincangkan masalah teknis normalisasi hubungan diplomatik kedua negara. Berdasarkan yang disiarkan ssurat kabar di Indonesia, dalam perbincangan kedua negara, pihak Tiongkok tegas mempertahankan sebutan ¨Republik Rakyat Tiongkok〃 dan bukan ¨Republik Rakyat Cina〃, karena istilah ¨Cina〃 mengandung pengertian menghina. Tapi pihak pemerintah Indonesia bertahan dan berpendapat masalah istilah ini diluar agenda yang diperbincangkan.
Secara tegas dan keras mempertahankan penyatuan dan keseragaman istilah yang digunakan internasional adalah satu pendirian ilmiah yang tepat.
Pada tahun 1994, ketika Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok, J. Juwana mengunjungi Universitas BeiJing mengungkap peristiwa yang terjadi: Pada saat beliau menyerahkan Surat Kuasa Negara pada Presiden Tiongkok, surat kuasa semula menggunakan sebutan ˉCina〃. Kontan saja Pemerintah Tiongkok menolak dan mengembalikan surat kuasa itu. Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok terpaksa mengirim kembali Suarat Kuasa itu ke Jakarta, untuk merubahnya dengan ejaan bahasa Inggris ¨China〃 dalam sebutan Tiongkok, barulah surat kuasa itu diterima.
Majalah ¨Indonesia dan Asian〃 (No-111, Juli 2000) dalam reportase wawancara dengan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Chen Shi Qiu mengenai masalah ¨Cina〃, Duta Chen secara tegas menandaskan: Kebencian rakyat Tiongkok terhadap sebutan ¨Cina〃 ada sebab sejarahnya. Rakyat Tiongkok mendengar sebutan ¨Cina〃 menjadi terkenang pengalaman pahit yang terhina dan tersiksa yang dialaminya selama penjajahan imperialis-Jepang. Sebutan ¨Cina〃 sangat melukai perasaan rakyat Tiongkok. Sebelum tahun 1967, di Indonesia selalu menggunakan sebutan ¨Tiongkok〃, begitu juga bahasa yang digunakan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tapi, setelah dikeluarkannya Ketetapan Presiden dan Presidium Kabinet ditahun 1967, merubah sebutan Tiongkok jadi Cina. Sudah tentu ini adalah tindakan yang sangat tidak bersahabat terhadap Tiongkok. Pada saat normalisasi hubungan diplomatik kedua negara ditahun 1990, kedua belah pihak
juga sudah mencapai kesepakatan resmi, semua dokumen pemerintahan Indonesia
menggunakan sebutan ¨China〃 untuk Tiongkok, dan tidak lagi menggunakan ¨Cina〃. Tetap sangat disesalkan, sampai saat kini masih saja sementara aparat pemerintah dan suratkabar tertentu tetap saja menggunakan sebutan ¨Cina〃. Kami sangat mengaharapkan mereka bisa bertolak atas dasar menghormati perasaan Rakyat Tiongkok, memperbaiki sebutan yang salah itu, dan dengan demikian bisa memainkan peranan secara aktif meningkatkan persahabatan rakyat kedua negara.
* Reaksi orang Tionghoa dirantau.
Orang-orang Tionghoa kelahiran Indonesia sebelum tahun 60 abad 20, umumnya mengerti adanya perbedaan makna dari dua sebutan ¨Tiongkok〃 dan ¨Cina〃 itu, bahkan mereka merasakan sendiri kepahitan sejarah ketika itu. Seorang pelajar Leo Suryadinata (Liao Jian Yi) di Singapore menyatakan: Sebutan ¨Cina〃 bagi orang Tionghoa kelahiran Indonesia adalah mengandung arti penghinaan. Juga pelajar Indonesia, Li Tik Tjing menyatakan: ¨Di Asia Tenggara, terutama bagi peranakan Tionghoa dan Hakiao di Indonesia, setelah mereka berhubungan dengan bangsa Melayu, merasa terhina kalau mereka menyebutkan ˉCinaˇ untuk Tiongkok dan Tionghoa.〃 Li Tik Tjing pada tahun 1988 di majalah Vista No27, ketika menjawab pertanyaan wartawan, juga tetap mempertahankan pendapatnya sampai saat kini didalam bahasa Indonesia ˉCinaˇ bermakna penghinaan. Kami berpendapat, yang dimaksud orang Tionghoa kelahiran Indonesia (baik peranakan Tionghoa maupun Huakiao) oleh Leo Suryadinata dan Li Tik Tjing, pada pokoknya adalah orang-orang Tionghoa Indonesia yang lahir sebelum tahun 60. Siauw Giok Tjhan dalam bukunya ¨Lima Jaman〃 juga secara jelas menunjukkan〃 Pemerintah Suharto sengaja
merubah ¨Tiongkok〃 jadi ¨Cina〃 untuk menghina Tiongkok. Wartawan Oei Liong Thai, peranakan Tionghoa yang pada tahun 70-an menetap di Belanda juga berkali-kali menunjukkan: Yang tepat adalah ¨Tionghoa〃 dan seharusnya mencampakan ¨Cina〃.
Beberapa tahun terakhir ini, kami berkesempatan mengunjungi Indonesia, Eropah dan juga di Bei Jing sendiri ketika bertemu dan bercakap-cakap dengan orang-orang tua dan setengah baya Tionghoa, pada umumnya mereka tidak menggunakan ¨Cina〃 dalam menyebut Tiongkok, sudah barang tentu pada masa kekuasaan Soeharto didepan umum dan dalam tulisan resmi, mereka terpaksa harus menggunakan juga istilah ¨cina〃 itu. Bisa dimengerti, demi keselamatan mereka sendiri. Kami juga tidak menyangkal diantara orang tua Tionghoa ada juga yang mengambil sikap tidak apa-apa dengan sebutan "cina〃,tetapi mayoritas orang Tionghoa tidak bisa menerimanya.
Bagi orang Tionghoa yang lahir setelah tahun 60, karena tidak mengerti latar belakang sejarah kedua istilah itu, ditambah sebagai satu ketentuan resmi pemerintah Soeharto mencekokinya melalui Radio, TV dan media pers dengan menggunakan istilah ¨Cina〃 dalam menyebutkan Tiongkok, dan mayoritas mereka dalam menyebut ¨Cina〃 juga tidak bermaksud menghina, maka akhir-akhir ini pemuda-pemuda Tionghoa dari Indonesia yang melancong ke Tiongkok juga menjadi sedikit yang menggunakan istilah ¨Tiongkok〃.
Perlu ditekankan disini, sekalipun di Malaysia dan Singapore dalam bahasa Melayu mereka menyebut Tiongkok dengan ¨China〃, orang Tionghoa setempat dan peranakan Tionghoa sebagai Keturunan Cina, menyebutkan suku Tionghoa sebagai Kaum Cina, tetapi tidak sedikitpun mengandung pengertian menghina. Ini disebabkan karena di Singapore dan Malaysia tidak pernah terjadi peristiwa politik yang sengaja merubah sebutan ¨Tiongkok〃 dan Tionghoa〃 menjadi ¨Cina〃 untuk menghina Tiongkok dalam rangka politik anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa, seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1967. Ketika kami mengunjungi Singapore dan Malaysia, mendapatkan pengertian bahwa istilah ¨Cina〃 tidak bermakna penghinaan bagi orang Tionghoa dan Huakiao di Singapore dan Malaysia. Jadi, sungguh berbeda dengan latar belakang khusus dan sejarah khusus yang terjadi di Indonesia, yang tidak bisa diragukan lagi, bahwa
sementara orang Indonesia justru sengaja menggunakan istilah ¨Cina〃 ini untuk
menghina Tiongkok dan orang Tionghoa.
* Reaksi dari Pribumi Indonesia
Harian ¨Kompas〃 28 April 1967 memuat surat Mochtar Lubis, seorang wartawan dan penulis ternama, didalam surat itu menandaskan bahwa penggunaan istilah ¨Cina〃 setidaknya telah melukai perasaan peranakan Tionghoa di Indonesia.
Surat kabar ¨Sinar Harapan〃 tertanggal 3 Mei 1967 juga telah memuat surat seorang pembaca, Alexsander yang menyatakan: ¨Kami bangsa Indonesia yang berjiwa besar, tidak seharusnya melukai perasaan suku bangsa lain, jadi sudah seharusnya menghentikan penggunaan istilah ˉCinaˇ〃.
Bahkan didalam intern Angkatan Darat juga ada orang yang menentang digunakannya istilah ¨Cina〃. Mereka mengatakan: ¨Seandainya tindakan demikian itu mengakibatkan kehilangan simpatik orang Tionghoa di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, maka akan mengancam kestabilan rencana ekonomi dari kabinet. Seandainya tujuan kita adalah meng-hina Republik Rakyat Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok, perubahan penggunaan istilah ¨Cina〃 itu tidak akan mencapai tujuan, karena yang lebih dahulu terkena, merasa terhina dan terlukai perasaannya adalah orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara terutama di Indonesia.〃
Harian ¨Angkatan Bersenjata〃 tanggal 8 Agustus 1967, memuat tulisan Jauhari Achmad, yang mencoba memberikan penjelasan dan pembelaan atas penggunaan istilah ¨Cina〃. Dia menyatakan digunakannya kembali istilah ¨Cina〃 bisa secara cepat mendapatkan sambutan secara luas, membuktikan bahwa istilah itu sesuai dengan kehendak rakyat Indonesia. Penulis menyangkal bahwa istilah ¨Cina〃 mengandung arti penghinaan. Dikatakan selanjutnya, seandainya bermakna penghinaaan, itu juga dibuat oleh masyarakat orang Tionghoa sendiri. ¨Kesensitifan orang Tionghoa dalam masalah ini berhubungan erat dengan sikap dan tindakan mereka dibidang perdagangan. Sikap dan tindakan mereka itu justru yang melukai perasaan pribumi Indonesia.〃
Dibawah tekanan keras dari pemerintah Soeharto setelah tahun 1967, sebagian besar pers-suratkabar menyebutkan Tiongkok dengan ¨Cina〃, hanya sebagian kecil saja, seperti Harian ¨Merdeka〃 pernah bertahan menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dalam jangka waktu cukup lama. ¨Kamus Besar Indonesia〃 terbitan Departemen Pendidikan cetakan tahun 1988, tidak lagi bisa ditemukan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Yang ada hanyalah ¨Cina〃 yang berarti 1. satu negara besar di Asia; 2. Suku bangsa yang tinggal dinegara itu. Dan dalam penjelasan lebih lanjut dinyatakan ¨Republik Rakyat Cina. Kecuali itu, ada juga sementara politikus dalam pembicaraan dan tulisannya sekaligus menggunakan Cina dan Tiongkok.
Sampai pada tahun 1997, dikeluarkannya ¨Kamus Umum Mandarin - Indonesia〃 terbitan Universitas Indonesia, juga tidak terdapat istilah ¨Tiongkok〃, yang ada hanya kata ¨Zhong Hua〃 diterjemahkan jadi Tionghoa. Sedang dalam penjelasan tambahan ke-13 kata ¨Zhong Guo〃 diterjemahkan jadi ¨Cina〃 dan ¨Zhong Hua Ren Min Gong He Guo〃 diterjemahkan jadi ¨Republik Rakyat Cina〃. Inilah akibat politik anti Tiongkok dan anti Tionghoa yang telah merasuk dan meluas dijaman pemerintahan Soeharto.
Sungguh sangat menggembirakan kita, perkembangan reformasi dan demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini telah membawakan suasana baru. Pada saat Abdurrahman Wahid menjabat Presiden Indonesia diakhir tahun 1999, pejabat-pejabat resmi pemerintahan mulai menggunakan lagi istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃 menggantikan ¨Cina〃. Presiden Wahid sendiri memelopori dalam kata sambutannya menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Penulis ketika mengunjungi Indonesia pada Agustus 2000, sahabat-sahabat lama menjelaskan pada penulis, bahwa Presiden Wahid didalam laporan kerja pemerintah bulan Agustus itu, sudah secara tegas menggunakan sebutan ¨Republik Rakyat Tiongkok〃
dan tidak lagi menyebut ¨Republik Rakyat Cina〃. Tentu ini adalah satu berita yang sangat menggemberikan.
Dalam laporan lain, yang pada saat kini menjabat wakil Presiden, Megawati bahkan merasakan dirinya bangga bisa menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃 lagi. Pada tahun 1998 didepan rapat massa di Jawa Timur, Megawati bahkan pernah mengatakan: ¨Sejak dahulu sampai sekarang, saya tetap menggunakan sebutan Tiongkok dan Tionghoa, keyakinan saya ini tidak berubah untuk selama-lamanya〃.
September 1999, Konsulat Indonesia di Hong Kong ketika mengucapkan Selamat 50 Tahun Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok dan pada bulan Juni 2000 dalam rangka memperingati 50 tahun Hubungan Diplomatik RI-RRT, beliau juga sudah menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃, tidak lagi ¨Cina〃.
Agustus 2000, ketika Wakil Presiden Tiongkok Hu Jin Tao mengunjungi Indonesia, Duta Besar Indonesia di Tiongkok, Kuntara yang menyertai delegasi, dalam setiap siaran pers dan pembicaraan didepan umum, beliau menggunakan istilah Republik Rakyat China.
Mayoritas yang dinamakan pribumi Indonesia bisa mengerti, demi menghormati dan tidak melukai perasaan rakyat Tiongkok dan peranakan Tionghoa yang hidup di Indonesia, mereka bisa tidak menggunakan sebutan ¨Cina〃 lagi, tapi kembali menggunakan sebutan ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Tetapi, karena penggunaan istilah ¨Cina〃 yang dipaksakan itu sudah berlangsung dan terbiasa selama puluhan tahun, tidaklah aneh kalau akhirnya sudah menjadi sebutan sehari-hari.
Dan dengan demikian kitapun tidak perlu terlalu kecewa dan pesimis. Sayapun yakin, mayoritas mutlak mereka tentunya tidak ada maksud untuk menghina dan melukai perasaan rakyat Tiongkok, dan bisa bersahabat bagaiakan sesaudara dengan peranakan Tionghoa yang sudah hidup turun temurun di Indonesia. Kita harus bisa sabar melancarkan propaganda dan menanti kesediaan mereka merubah sebutan yang tidak tepat itu.
5. Beberapa alternatif penyelesaian
Sementara ini paling sedikit ada 3 cara penyelesaian. Pertama terus menggunakan istilah ¨Cina〃 dalam menyebut Tiongkok; Kedua, merubahnya kembali dengan sebutan Tiongkok; dan Ketiga, menggunakan ejaan bahasa Inggris ¨China〃.
Kecuali itu, ada juga sementara orang mengajukan untuk menggunakan istilah Zhongguo (seperti yang diajukan wartawan Oei Liong Thai, Tionghoa asal Indonesia yang telah menentap di Belanda) atau Caina, dll. Tetapi, pendapat penulis sebutan yang lebih tepat dan ilmiah seharusnya adalah Republik Rakyat Tionghoa.
Yang pasti kami tidak bisa menerima sebutan Tiongkok sebagai ¨Cina〃. Sebagaimana pada tahun 1967 pemerintah Soeharto memaksakan perubahan Tiongkok menjadi Cina dengan alasan: 1. Untuk menghilangkan rasa ¨rendahdiri〃 yang ada pada kaum pribumi dan menghapus rasa ¨superior〃 dari orang Tionghoa dan Hakiao di Indonesia; 2. Pemulihan istilah yang umum digunakan didalam dan diluar Indonesia dengan berbagai bahasa dalam sebutan Tiongkok dan rakyat Tiongkok; 3. Keseragaman bahasa yang digunakan dalam sebutan terhadap ¨Tiongkok〃.
Kami mengambil sikap menentang dan mengkritik alasan yang diajukan pemerintah indonesia itu. Seperti yang telah dijelaskan terdahulu, masalah sebutan terhadap negara kami adalah masalah prinsip yang menghargai Tiongkok sebagai negara. Jadi, seharusnya diatas dasar pengertian inilah kita melanjutkan mendalami pengertian dan berdiskusi. Sebenarnya istilah ¨Cina〃 adalah istilah yang netral. Tetapi, dalam sejarah Indonesia, imperialisme penjajah-Belanda justru menggunakan istilah ¨Cina〃 itu untuk menghina Tiongkok. Pada awal abad 20 gerakan pembebasan nasional rakyat Asia makin memuncak, orang Tionghoa Indonesia yang revolusioner mendirikan Tionghoa Hui Kwan, yang tegas menentang kaum penjajah menggunakan istilah ¨Cina〃 yang bermakna menghina itu dan menggunakan sebutan Tiongkok. Terutama setelah Revolusi Xing-hai yang dipimpin Dr. Sun Yat Sen tahun 1911 berhasil menggulingkan Dinasti ¨Qing〃, dan dibentuknya Republik Tiongkok, orang Tionghoa di Indonesia secara resmi
menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃, sebagai satu pernyataan penghargaan dan perasaan menghormati hasil kemenangan rakyat Tiongkok, sekaligus juga perasaan bangga sebagai turunan berkulit-kuning. Jadi, sekali-kali bukan sesuatu perasaan ¨superior〃 terhadap pribumi Indonesia yang dituduhkan sementara orang.
Sedikitpun juga tidak beralasan kalau dinyatakan bahwa penggunaan istilah ¨Tiongkok〃 membuat rasa ¨rendah-diri〃 pada pribumi Indonesia. Ambillah Proklamator Kemerdekaan RI, Soekarno sebagai pejuang besar melawan imperialisme dan kolonilaisme sebagai contoh ( bahkan yang oleh pemerintah Soeharto sendiri, Soekarno pada 8 Nopember 1986 dinobatkan sebagai Pahlawan Bangsa), baik jauh sebelum maupun setelah kemerdekaan, beliau selalu menggunakan istilah Tiongkok dalam menyebutkan negara kami, tidak sekali juga beliau menggunakan istilah Cina atau Tjina. Ini adalah sikap agung Soekarno, yang bisa menghargai dan menghormati Sun Yat Sen dan rakyat Tiongkok dan menjadikannya teladan berevolusi bagi dirinya sendiri. Adalah juga Soekarno yang telah menempatkan Republik Rakyat Tiongkok sebagai kawan seperjuangan rakyat Indonesia dalam melawan imperialisme dan kolonialisme. Dengan sebutan ¨Tiongkok〃 pada Zhongguo itu, apakah bisa dikatakan Soekarno telah menempatkan nasion Indonesia
¨rendah-diri〃? Tentu saja tidak!
Apa yang dikatakan ¨Pemulihan istilah yang umum digunakan didalam dan diluar Indonesia dengan berbagai bahasa dalam sebutan Tiongkok dan rakyat Tiongkok〃. Umum mengetahui, bahwa bahasa yang digunakan didunia internasional, dalam bahasa Inggris menyebut Tiongkok dengan China, dan jelas istilah ¨Cina〃 dalam ejaan Indonesia mempunyai latar belakang senjarah yang berlainan. Bahasa Indonesia bukanlah bahasa Inggris, dan dalam jangka waktu panjang didalam bahasa Indonesia juga sudah menggunakan istilah Tiongkok dalam menyebutkan Zhonggou dalam lafak Hokkian. Jadi, adalah juga tidak beralasan perubahan penggunaan istilah ¨Cina〃 dalam sebutan ¨Tiongkok〃 untuk keseragaman bahasa yang dipakai internasional.
Keseragaman sebutan istilah untuk ¨Zhongguo〃, juga tidak masuk akal. Belasan tahun sebelum tahun 1965, di Indonesia dari atas sampai kebawah semua menyebut ¨Tiongkok〃 untuk Zhongguo, dan bukan Cina (Tjina). Baru setelah tahun 1967, dilancarkan gelombang anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa oleh pemerintah Suharto, digunakanlah istilah ¨Cina〃 untuk mengganti istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Yang jelas adalah bermuatan politik dan bukan untuk keseragaman bahasa dan istilah!
Bagi Indonesia, penggunaan istilah bahasa Inggris ¨China〃 untuk menggantikan sebutan Tiongkok masih lebih baik ketimbang sebutan ¨Cina〃. Karena ¨China〃 bersifat netral sedang ¨Cina〃 bermakna menghina. Tetapi, dalam ejaan baru bahasa Indonesia tidak ada bunyi ejaan dengan Ch, jadi kurang selaras seandainya memaksakan istilah bahasa Inggris China kedalam bahasa Indonesia. Ini kalau sekadar kita tinjau dari segi bahasa. Tapi, kalau kita mau meng-Indonesiakan nama Zhongguo dari bahasa Inggris, mengapa tidak meng-Indonesiakan nama-nama negara ¨Amerika〃, ¨Inggris〃, ¨Perancis〃,
¨Belanda〃 dll negara juga dari bahasa Inggris? Sebagai satu langkah keseragamanan bahasa dan istilah?
Sejak Soeharto naik tahta di tahun 1967 merubah penggunaan istilah ¨Tiongkok〃 menjadi ¨Cina〃, dan setelah Soeharto lengser ditahun 1998 berarti istilah ¨Cina〃 telah berlangsung lebih dari dari 30 tahun didalam masyarakat Indonesia. Bahkan dikalangan generasi muda masyarakat Tionghoa juga sudah menjadi biasa dengan penggunaan istilah ¨Cina〃 itu. Tentu adalah sesuatu yang tidak realis, seandainya sekarang juga setelah dipulihkannya hubungan diplomatik kedua negara RI-RRT, istilah ¨Cina〃 dihilangkan secara keseluruhan. Diakhir tahun 60-an, dimulainya kekuasaan Soeharto, penerbitan di Indonesia dan macam-macam peta-Atlas sampai pada sebutan Laut Tiongkok Selatan, untuk merubah jadi Laut Cina Selatan juga memerlukan proses. Sedang dilihat dari Hukum, karena perubahan penggunaan sebutan ¨Tiongkok〃 jadi ¨Cina〃 adalah keputusan Presidium Kabinet ditahun 1967, maka sudah seharusnya kita juga harus menunggu pencabutan penggunaan sebutan ¨Cina〃 dari Presidium Kabinet yang akan datang.
Pelurusan masalah yang terjadi didalam masyarakat atas kesalahan sebutan terhadap nama negara kami, Zhongguo bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan bagaikan hilangnya embun dipagi hari. Tetapi, dari pandangan sejarah dan titik tolak persahabatan rakyat kedua negara yang harus saling menghargai dan menghormati, kami berhak menuntut pihak Pemerintah Indonesia untuk segera kembali menggunakan sebutan ¨Tiongkok〃 dan untuk sebautan lengkap menjadi Republik Rakyat Tiongkok. Sebagaimana tertulis diatas penandatanganan perjanjian pembukaan hubungan diplomatik kedua negera Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia ditahun 1950.
Sejarah telah mencampakan kekuasaan Soeharto yang bersikap tidak bersahabat pada rakyat Tiongkok, gerakan demokrasi dan reformasi terus bergulir meningkatkan nasionalis dan persahabatan yang harmonis antar suku. Masyarakat Tionghoa di Indonesia juga telah meningkat kesadarannya, secara inisiatif mengajukan agar pemerintah memperhatikan setiap masa sejarah sebutan terhadap kelompok suku-Tionghoa di Indonesia. Mayoritas pranakan Tionghoa di Indonesia yang lebih suka dipulihkannya kembali sebutan Tionghoa, mereka tegas menentang sebutan ¨Cina〃, karena sebutan ¨Cina〃 yang mengandung penghinaan itu sangat melukai perasaan mereka.Tuntutan demikian ini adalah satu tuntutan yang wajar, dan tentunya sangat bermanfaat untuk memperkokoh kerukunan dan persatuan nasional, sangat menguntungkan bagi usaha mendorong maju ketentraman dan kemakmuran masyarakat Indonesia.
Kong Yuan Zhi,
BeiJing, Oktober 2000
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/17385
From: "HKSIS"
Date: Mon Feb 13, 2006 9:43 pm
Read more
Universitas BeiJing
Presiden Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun lebih akhirnya turun panggung pada tahun 1998 Mei 21. Seiring dengan makin mendalamnya gerakan demokrasi dan reformasi, politik diskriminasi terhadap orang Tionghoa di Indonesia juga mendapatkan perubahan. Berbagai partai politik, organisasi dan organ-media orang Tionghoa, berbondong-bondong mengajukan penggantian kembali sebutan ¨Cina〃 menjadi ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Dan masalah tersebut telah menjadi perdebatan hangat didalam masyarakat.
Sebenarnya yang mana lebih tepat, sebutan ¨Tiongkok〃 atau ¨Cina〃? Sebutan ¨Zhong Hua Ren Min Gong He Guo〃 menjadi ¨Republik Rakyat Tiongkok〃 atau ¨Repiblik Rakyat Cina〃? Lalu, sebutan Keturunan Tionghoa atau Keturunan Cina bagi ¨Hua Yi〃 di Indonesia? Dimana makna ¨Cina〃 yang mengandung penghinaan itu sesungguhnya?
Yang pasti, sebutan yang tepat terhadap satu negara, ¨Tiongkok〃 atau ¨Cina〃 adalah masalah kehormatan, begitu juga sebutan terhadap orang Hua di Indonesia menjadi ¨orang ¨Tionghoa〃 atau orang ¨Cina〃 adalah masalah kehormatan bagi mereka. Tiongkok dan berbagai lapisan rakyat di Indonesia sangat memperhatikan masalah-masalah sensitif ini, masalah wajar yang terjadi dalam hubungan perasaan sesama manusia.
Ijinkanlah saya mengajukan pendapat-pendapat pribadi saya mengenai masalah ini.
1. Asal-usul sebutan ¨Tiongkok〃 dan ¨Cina〃.
Kalau kita usut sebutan ¨Tiongkok〃 dari dinasti Shang, dimana ketika itu daratan Tiongkok terpecah jadi banyak negara-negara atau kerajaan kecil, sebentar tunduk, sebentar mengchianati kerajaan Shang. Ketika dinasti Shang menguasai wilayah ditengah-tengah kerajaan yang berada disebelah Timur, Barat, Utara dan Selatan, maka negara kerajaan ini disebut ¨Tiongkok〃 (Zhong Guo dalam lafal bahasa daerah Hokian, yang juga berarti Negara-Tengah).
Sebenarnya, kalau diteliti lebih jauh, istilah ¨Tiongkok〃 sudah muncul didalam ¨ Kumpulan Sajak-kuno〃 jaman kerajaan Zhou. Kerajaan Zhou Barat menyatakan daratan dan kerajaan ditengah sebagai ¨Tiongkok〃, yang merupakan daerah central dan pusat kebudayaan. Begitulah kemudian setelah makin bersatunya bangsa Tionghoa menggunakan sebutan ¨Tiongkok〃 sampai saat kini.
Sedangkan istilah ¨China〃 yang biasa disebutkan orang asing pada ¨Tiongkok sebenarnya adalah netral saja. Sebagaimana penulis pernah menyatakan, jauh pada
pertengahan abad 7, seorang Biksu Zheng (Pendeta Budha) ternama Tiongkok ke India ¨Melawat Ke-Barat〃, menyatakan orang India menyebut Tiongkok sebagai ¨Moko China〃. Didalam ¨Riwayat Biksu-Chi Shi〃 juga tercatat dengan menjelaskan ¨China〃 sebagai ¨Kebudayaan China〃. Didalam ¨Kumpulan Istilah Terjemahan〃 dari Song She Fa Wen, disebut: ¨ China sebagai satu negara budaya.
Yang memuji negera tersebut sebagai tempat mendapatkan baju-pakaian〃. Hingga jaman kini, Biksu Sumansu berpendapat, ¨Istilah China, bukan berasal dari bunyi dinasti ˉQinˇ, karena dalam sajak kuno India ˉMokoborotoˇ sudah menyebutkan panggilan china itu〃. Berdasarkan buku dari India dimasa dinasti Boroto, yaitu dimasa dinasti Shang di Tiongkok pada tahun 1400 SebelumMasehi, sudah digunakan istilah ¨China〃. Dengan demikian jelas, bahwa ¨China〃 tidak ada hubungan dengan ¨Qin〃, juga tidak mungkin lebih dahulu adanya jaman-porselen, baru muncul sebutan ¨China〃 sebagai Tiongkok. Sementara orang beranggapan ¨China〃 muncul dari istilah ¨Jing〃 yaitu Negara Chu.
Pada saat jenderal Zhuang meresmikan dirinya sebagai raja negara Chu diabad 4 Sebelum Masehi. Ketika itu didalam tulisan-tulisan di India, Persia dan Eropah sudah muncul sebeutan ¨China〃 untuk Tiongkok. Sedangkan berdasarkan ¨Encyclopedia〃 terbitan
terbaru, menyatakan ¨China〃 berasal dari bunyi ¨Qin〃 dinasti. Dan ¨Encyclopedia〃 ini secara sepintas menyatakan ucapan Biksu Zheng Yi Jing dari dinasti ¨Tang〃 bahwa orang barat menyebutkan negara ¨Tang〃 sebagai ¨China〃. Sementara pelajar diluar negeri juga tidak setuju menyatakan bahwa ¨China〃 berasal dari bunyi ¨Qin〃 dinasti.
Pada saat ini sebutan dunia barat pada Tiongkok, sebagaimana seorang Profesor bahasa Latin menyatakan: ¨ istilah ˉZhong Guoˇ didalam bahasa Inggris menjadi ˉChinaˇ, bahasa Perancis menjadi ˉChineˇ, bahasa Jerman menjadi ˉChinaˇ adalah perubahan dari bahasa latin ˉCinaˇ. Di Jepang, istilah ¨China〃 baru muncul sekitar pertengahan jaman Dinasti Ming. ¨Ditahun 1895, Jepang dari Persetujuan ˉMaKwanˇ mendapatkan 200 juta gr Emas dan pulau Taiwan〃. Ketika itu orang Jepang berteriak girang :〃Jepang menang! China kalah!〃 Dengan demikian, sejak saat itu mulailah dari menghormati Tiongkok menjadi memandang rendah dan menghina. Dari peperangan itulah, Jepang menyebut Tiongkok yang semula Morokoshi Kara menjadi ¨China〃. Tiongkok sebagai negara kalah perang didalam perang Tiongkok-Jepang (1894 - 1895). Dan sebagai
penyelidik jalan menuju negara perkasa, serombongan pemuda Tionghoa belajar ke
Jepang. ¨Diantara orang Tionghoa ketika itu, tidak sedikit yang merasa istilah
ˉnegara Qingˇ mengandung arti negara asing menguasai Tiongkok, maka sangat "membencinya〃. Misalnya, Liang Qi Chau dan Huang Xing adalah yang berpendapat
demikian.
2. Tiongkok〃, ¨Tionghoa〃 dan ¨Cina〃 dalam sejarah Indonesia.
Perkembangan Bahasa Indonesia berasal dan berdasarkan bahasa Melayu. Didalam karya sastra klasik bahasa Melayu, seperti ¨Riwayat Hang Tuah〃 dan ¨Peringatan Melayu〃 di abad 17 sudah menyebut ¨Tiongkok〃 sebagai ¨Cina〃. Dan disini tidak ada pengertian menghina, begitulah di Malaya dari dahulu sampai sekarang menyebut ¨Tiongkok〃 dengan ¨Cina〃. Sebelum abad 20, di Indonesia juga menyebut ¨Cina〃 pada ¨Tiongkok〃.
Seiring dengan perkembangan gerakan nasional Indonesia, ditahun 1900 orang Tionghoa di Indonesia mendirikan ¨Tionghoa Hui Kwan〃. Dan ditahun itu juga membangun sekolah-sekolah Tionghoa. Pengenalan Hoakiao terhadap tanah leluhurnya makin dalam dan hubungannya juga makin rapat, ¨dari sebelumnya menyebut Cina sebagai Zhong Guo, dan orang Cina sebagai orang Tiongkok, kemudian dirubah menjadi Tiongkok untuk negara dan Tionghoa untuk sebutan orang.〃
Pada tahun 1897, perantau Jepang di Indonesia mendapatkan hak yang sama dengan orang Eropah, ini tentunya sehubungan dengan kuatnya negara Jepang. Hal ini telah membangkitkan kesadaran nasioanal Huakiao. Tahun 1910 pemerintah kolonial Belanda menentukan 3 tingkat warga dalam undang-undang kewarganegaraan: Warga klas-1 adalah orang Eropah (Termasuk orang Jepang); Warga klas-2 adalah orang asing Timur (Terutama orang Tionghoa) dan warga klas-3 adalah orang Indonesia, yang disebut pribumi. Inilah manifestasi politik ¨Perpecahan〃 yang dilakukan kolonial Belanda. Penguasa kolonial Belanda menggunakan istilah ¨Cina〃 untuk menghina para Huakiao, oleh karenanya membuat mayoritas Huakiao sangat jengkel dengan sebutan tersebut.
Sun Yat Sen pada tahun 1905 di Tokio mendirikan Perserikatan Tiongkok, yang menentukan program ¨Pengguntingan kuncir, pemulihan Tionghoa, mendirikan nasion yang mempunayi hak sederajat〃. Dan ditahun 1911 dibawah pimpinan Sun Yat Sen, revolusi Sing-hai menggulingkan dinasti feodal ¨Qing〃, mendirikan Republik Tiongkok, dan setelah itu Huakiao di Indonesia menyebut dirinya sebagai orang Tiongkok, menggantikan istilah ¨Cina〃 dengan ¨Tiongkok〃 untuk sebutan negara dan ¨Tionghoa〃 untuk sebutan orang, sebagai satu sikap memperlakukan ¨hasil kemenangan revolusi Rakyat Tiongkok〃. Dengan demikian memastikan bahwa istilah ¨Cina〃 adalah bermakna penghinaan yang tidak seharusnya digunakan lagi.
Anggaran dasar Tionghoa Hui Kwan pada tahun 1928 juga secara resmi merubah ¨Cina〃 jadi ¨Tionghoa〃. Dan pada tahun itu juga, Gubernur Belanda juga secara resmi menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃.
Sejak saat itu, tokoh-tokoh perjuangan nasionalis melawan penjajah Belanda seperti Tjipto Mangunkusumo, Kihajar Dewantoro, Tjokroaminoto, Sutomo dan Sukarno dll. Semua juga sudah menggunakan sebutan ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Tidak lagi menggunakan istilah ¨Cina〃. Sejak Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan ditahun 1945 sampai sebelum peristiwa ¨G30S〃 1965, pemerintah Indonesia tegas dalam pendirian ini. Termasuk press-media seluruhnya menggunakan ¨Republik Rakyat Tiongkok〃, tidak satupun yang menggunakan ¨Republik Rakyat Cina〃 dan tidak menyatakan orang Tiongkok sebagai orang Cina.
Perlu ditekankan disini, pada saat pembukaan hubungan diplomatik Tiongkok-Indonesia di tahun 1950, didalam dokomen resmi yang ditandatangi kedua belah pihak juga menggunakan Republik Rakyat Tiongkok untuk sebutan ¨Zhong Hua Ren Min Gong He Guo〃, dan selanjutnya pihak pemerintah Indonesia dalam hubungan surat resmi juga menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 untuk ¨Zhong Guo〃 dan ¨Tionghoa〃 untuk ¨Zhong Hua〃, sebagai sebutan pada Zhong Guo untuk negara dan orang Tionghoa untuk orang Hua (Hua Ren). Jadi jelas, setelah memasuki abad 20 ini, istilah ¨Cina〃 yang mengandung makna menghina itu sudah tidak digunakan lagi dan yang jelas sangat menyakiti hati para Huakiao itu bisa dimengerti secara baik oleh suku-suku lainnya.
Perlu juga diingat, selama Puluhan tahun itu, Pemerintah Indonesia tetap saja selalu menyatakan mentaati Undang-Undang Dasar 1945. Sedang ayat-pertama Pasal 10 ¨Warganegara〃, jelas menyatakan orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai peranakan Tionghoa, dan tidak menggunakan istilah ¨Cina〃.
3. Pemerintah Soeharto mengganti ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃 jadi ¨Cina〃.
Tak lama setelah meletus peristiwa ¨G30S〃, di Indonesia terjadi arus anti Tiongkok dan anti Tionghoa. Tidak hanya di suratkabar, bahkan di tembok kedutaan Tiongkok di Jakarta juga dicoret ¨Ganyang Cina〃 dll semboyan anti Tiongkok dan anti Tionghoa.
Seminar Angkatan Darat ke-2 yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1966 Agustus 25 31, wakil panglima AD Panggabean dalam laporan kesimpulan Seminar pada Suharto -- pimpinan Kabinet menyatakan, ¨Demi memulihkan dan keseragaman penggunaan istilah dan bahasa yang dipakai secara umum diluar dan dalam negeri terhadap sebutan negara dan warganya, dan terutama menghilangkan rasa rendah-diri rakyat negeri kita, sekaligus juga untuk menghilangkan segolongan warga negeri kita yang superior, kami melaporkan pada yang mulia, keputusan Seminar untuk memulihkan penggunaan istilah ¨Republik Rakyat Tjina〃 (ZhiNa Ren Min Gong He Guo) dan ¨warganegara Tjina〃 (ZhiNa Gong Min), sebagai ganti sebutan ¨Republik Rakyat Tiongkok〃 dan warga-nya. Dari segi pandang sejarah dan masyarakat, keputusan tersebut adalah tepat.〃 (Setelah penggunaan ejaan baru, Tjina berubah jadi Cina) Bersamaan dengan itu, salah seorang peserta Seminar Letjen Soemitro, didepan pertemuan dengan wartawan mengumumkan Republik Rakyat Tiongkok sebagai Neokolonialisme salahsatu negara imperialis, yaitu
Tjinkolim (Tjina Kolonialisme-imperialisme).
25 Juli 1967, Presidium Kabinet mensahkan keputusan Seminar Angkatan Darat untuk menggunakan istilah ¨Cina〃 sebagai ganti istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. ¨Presidum Kabinet setelah mempertimbangkan sejarah penggunaan istilah ˉCinaˇ dan sebagai istilah yang disenangi rakyat Indonesia, menyatakan keputusan yang dianjurkan Seminar Angkatan Darat adalah tepat.〃 Kemudian juga dinyatakan, ¨Pernyataan tersebut adalah untuk menyatukan bahasa dan peningkatan efisiensi, menghindari adanya dualisme dalam penggunaan bahasa didalam aparat negara〃. Dengan demikian, secara resmi pemerintah Indonesia menggunakan istilah ¨Cina〃 untuk menggantikan ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃.
4. Reaksi dengan digunakannya istilah ¨Cina〃
* Reaksi Pemerintah Tiongkok
Sejak akhir Agustus 1966, setelah wakil panglima AD melaporkan keputusan pada Soeharto untuk mengganti nama Republik Rakyat Tiongkok, pengumuman resmi pemerintah, siaran Radio-TV dan suratkabar berturut-turut merubah sebutan Republik Rakyat Tiongkok menjadi ¨Republik Rakyat Tjina〃 dan menyebut warga Tionghoa menjadi ¨warga Tjina〃. Pembicaraan Pejabat Menteri Luar Negeri Diah, didepan konfrensi-press 20 September dan Pernyataan Menteri Luar Negeri 23 September mengenai pengiriman kapal dari Tiongkok untuk mengangkut Huakiao yang dipersekusi, telah mulai menggunakan istilah ¨Cina〃 tersebut. Untuk itu, pihak Tiongkok melalui ¨Harian Rakyat〃 pada 27 Oktober menyiarkan editorial:
¨Perubahan sepihak pemerintah Indonesia atas sebutan nama negara Tiongkok, adalah penghinaan besar terhadap Rakyat Tiongkok〃, dan Rakyat Tiongkok menyatakan ¨sangat marah〃 atas sikap pemerintah Indonesia yang tidak bersahabat tersebut.
Editorial lebih lanjut menyatakan: ¨Umum sudah mengetahui bahwa ˉCinaˇ ketika Indonesia pada masa dikuasai oleh kaum imperialis dan kolonialis, adalah istilah yang digunakan untuk menghina rakyat Tiongkok.〃
Dan oleh karenanya, pemerintah Tiongkok telah mengajukan protes berulang kali atas penggantian istilah nama negara secara sepihak oleh pemerintah Indonesia. 28 Pebruari 1967 Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, mengundang Duta Besar Tiongkok untuk menghadiri pembukaan ¨Sidang Istimewa〃 MPRS, secara gegabah merubah Republik Rakyat Tiongkok menjadi ¨Republik Tiongkok〃. Setelah diprotes dengan keras, pihak pimpinan MPRS pada tanggal 3 Maret sekali lagi melempar undangan dengan merubah nama Republik Rakyat Tiongkok menjadi ¨Republik Rakyat Tjina〃. Untuk itu, sekali lagi pihak Duta Besar kami secara tegas dan keras protes terhadap sikap pemerintah Indonesia tersebut.
14 Mei tahun yang sama, pihak kementerian luar negeri Indonesia mengirim surat resmi pada Duta Besar kami, sekali lagi merubah nama negara Republik Rakyat Tiongkok menjadi ¨Repblik Rakyat Tjina〃, dan Duta Besar kami untuk kesekian kalinya mengajukan protes sekeras-kerasnya. Menyatakan tindakan pemerintah Indonesia demikian itu adalah satu penghinaan dan provokasi yang serius terhadap Republik Rakyat Tiongkok.
Pada tanggal 4 Desember 1989, delegasi Tiongkok yang dipimpin oleh wakil Menlu Shu Guo Xin tiba di Jakarta, untuk memperbincangkan masalah teknis normalisasi hubungan diplomatik kedua negara. Berdasarkan yang disiarkan ssurat kabar di Indonesia, dalam perbincangan kedua negara, pihak Tiongkok tegas mempertahankan sebutan ¨Republik Rakyat Tiongkok〃 dan bukan ¨Republik Rakyat Cina〃, karena istilah ¨Cina〃 mengandung pengertian menghina. Tapi pihak pemerintah Indonesia bertahan dan berpendapat masalah istilah ini diluar agenda yang diperbincangkan.
Secara tegas dan keras mempertahankan penyatuan dan keseragaman istilah yang digunakan internasional adalah satu pendirian ilmiah yang tepat.
Pada tahun 1994, ketika Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok, J. Juwana mengunjungi Universitas BeiJing mengungkap peristiwa yang terjadi: Pada saat beliau menyerahkan Surat Kuasa Negara pada Presiden Tiongkok, surat kuasa semula menggunakan sebutan ˉCina〃. Kontan saja Pemerintah Tiongkok menolak dan mengembalikan surat kuasa itu. Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok terpaksa mengirim kembali Suarat Kuasa itu ke Jakarta, untuk merubahnya dengan ejaan bahasa Inggris ¨China〃 dalam sebutan Tiongkok, barulah surat kuasa itu diterima.
Majalah ¨Indonesia dan Asian〃 (No-111, Juli 2000) dalam reportase wawancara dengan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Chen Shi Qiu mengenai masalah ¨Cina〃, Duta Chen secara tegas menandaskan: Kebencian rakyat Tiongkok terhadap sebutan ¨Cina〃 ada sebab sejarahnya. Rakyat Tiongkok mendengar sebutan ¨Cina〃 menjadi terkenang pengalaman pahit yang terhina dan tersiksa yang dialaminya selama penjajahan imperialis-Jepang. Sebutan ¨Cina〃 sangat melukai perasaan rakyat Tiongkok. Sebelum tahun 1967, di Indonesia selalu menggunakan sebutan ¨Tiongkok〃, begitu juga bahasa yang digunakan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tapi, setelah dikeluarkannya Ketetapan Presiden dan Presidium Kabinet ditahun 1967, merubah sebutan Tiongkok jadi Cina. Sudah tentu ini adalah tindakan yang sangat tidak bersahabat terhadap Tiongkok. Pada saat normalisasi hubungan diplomatik kedua negara ditahun 1990, kedua belah pihak
juga sudah mencapai kesepakatan resmi, semua dokumen pemerintahan Indonesia
menggunakan sebutan ¨China〃 untuk Tiongkok, dan tidak lagi menggunakan ¨Cina〃. Tetap sangat disesalkan, sampai saat kini masih saja sementara aparat pemerintah dan suratkabar tertentu tetap saja menggunakan sebutan ¨Cina〃. Kami sangat mengaharapkan mereka bisa bertolak atas dasar menghormati perasaan Rakyat Tiongkok, memperbaiki sebutan yang salah itu, dan dengan demikian bisa memainkan peranan secara aktif meningkatkan persahabatan rakyat kedua negara.
* Reaksi orang Tionghoa dirantau.
Orang-orang Tionghoa kelahiran Indonesia sebelum tahun 60 abad 20, umumnya mengerti adanya perbedaan makna dari dua sebutan ¨Tiongkok〃 dan ¨Cina〃 itu, bahkan mereka merasakan sendiri kepahitan sejarah ketika itu. Seorang pelajar Leo Suryadinata (Liao Jian Yi) di Singapore menyatakan: Sebutan ¨Cina〃 bagi orang Tionghoa kelahiran Indonesia adalah mengandung arti penghinaan. Juga pelajar Indonesia, Li Tik Tjing menyatakan: ¨Di Asia Tenggara, terutama bagi peranakan Tionghoa dan Hakiao di Indonesia, setelah mereka berhubungan dengan bangsa Melayu, merasa terhina kalau mereka menyebutkan ˉCinaˇ untuk Tiongkok dan Tionghoa.〃 Li Tik Tjing pada tahun 1988 di majalah Vista No27, ketika menjawab pertanyaan wartawan, juga tetap mempertahankan pendapatnya sampai saat kini didalam bahasa Indonesia ˉCinaˇ bermakna penghinaan. Kami berpendapat, yang dimaksud orang Tionghoa kelahiran Indonesia (baik peranakan Tionghoa maupun Huakiao) oleh Leo Suryadinata dan Li Tik Tjing, pada pokoknya adalah orang-orang Tionghoa Indonesia yang lahir sebelum tahun 60. Siauw Giok Tjhan dalam bukunya ¨Lima Jaman〃 juga secara jelas menunjukkan〃 Pemerintah Suharto sengaja
merubah ¨Tiongkok〃 jadi ¨Cina〃 untuk menghina Tiongkok. Wartawan Oei Liong Thai, peranakan Tionghoa yang pada tahun 70-an menetap di Belanda juga berkali-kali menunjukkan: Yang tepat adalah ¨Tionghoa〃 dan seharusnya mencampakan ¨Cina〃.
Beberapa tahun terakhir ini, kami berkesempatan mengunjungi Indonesia, Eropah dan juga di Bei Jing sendiri ketika bertemu dan bercakap-cakap dengan orang-orang tua dan setengah baya Tionghoa, pada umumnya mereka tidak menggunakan ¨Cina〃 dalam menyebut Tiongkok, sudah barang tentu pada masa kekuasaan Soeharto didepan umum dan dalam tulisan resmi, mereka terpaksa harus menggunakan juga istilah ¨cina〃 itu. Bisa dimengerti, demi keselamatan mereka sendiri. Kami juga tidak menyangkal diantara orang tua Tionghoa ada juga yang mengambil sikap tidak apa-apa dengan sebutan "cina〃,tetapi mayoritas orang Tionghoa tidak bisa menerimanya.
Bagi orang Tionghoa yang lahir setelah tahun 60, karena tidak mengerti latar belakang sejarah kedua istilah itu, ditambah sebagai satu ketentuan resmi pemerintah Soeharto mencekokinya melalui Radio, TV dan media pers dengan menggunakan istilah ¨Cina〃 dalam menyebutkan Tiongkok, dan mayoritas mereka dalam menyebut ¨Cina〃 juga tidak bermaksud menghina, maka akhir-akhir ini pemuda-pemuda Tionghoa dari Indonesia yang melancong ke Tiongkok juga menjadi sedikit yang menggunakan istilah ¨Tiongkok〃.
Perlu ditekankan disini, sekalipun di Malaysia dan Singapore dalam bahasa Melayu mereka menyebut Tiongkok dengan ¨China〃, orang Tionghoa setempat dan peranakan Tionghoa sebagai Keturunan Cina, menyebutkan suku Tionghoa sebagai Kaum Cina, tetapi tidak sedikitpun mengandung pengertian menghina. Ini disebabkan karena di Singapore dan Malaysia tidak pernah terjadi peristiwa politik yang sengaja merubah sebutan ¨Tiongkok〃 dan Tionghoa〃 menjadi ¨Cina〃 untuk menghina Tiongkok dalam rangka politik anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa, seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1967. Ketika kami mengunjungi Singapore dan Malaysia, mendapatkan pengertian bahwa istilah ¨Cina〃 tidak bermakna penghinaan bagi orang Tionghoa dan Huakiao di Singapore dan Malaysia. Jadi, sungguh berbeda dengan latar belakang khusus dan sejarah khusus yang terjadi di Indonesia, yang tidak bisa diragukan lagi, bahwa
sementara orang Indonesia justru sengaja menggunakan istilah ¨Cina〃 ini untuk
menghina Tiongkok dan orang Tionghoa.
* Reaksi dari Pribumi Indonesia
Harian ¨Kompas〃 28 April 1967 memuat surat Mochtar Lubis, seorang wartawan dan penulis ternama, didalam surat itu menandaskan bahwa penggunaan istilah ¨Cina〃 setidaknya telah melukai perasaan peranakan Tionghoa di Indonesia.
Surat kabar ¨Sinar Harapan〃 tertanggal 3 Mei 1967 juga telah memuat surat seorang pembaca, Alexsander yang menyatakan: ¨Kami bangsa Indonesia yang berjiwa besar, tidak seharusnya melukai perasaan suku bangsa lain, jadi sudah seharusnya menghentikan penggunaan istilah ˉCinaˇ〃.
Bahkan didalam intern Angkatan Darat juga ada orang yang menentang digunakannya istilah ¨Cina〃. Mereka mengatakan: ¨Seandainya tindakan demikian itu mengakibatkan kehilangan simpatik orang Tionghoa di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, maka akan mengancam kestabilan rencana ekonomi dari kabinet. Seandainya tujuan kita adalah meng-hina Republik Rakyat Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok, perubahan penggunaan istilah ¨Cina〃 itu tidak akan mencapai tujuan, karena yang lebih dahulu terkena, merasa terhina dan terlukai perasaannya adalah orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara terutama di Indonesia.〃
Harian ¨Angkatan Bersenjata〃 tanggal 8 Agustus 1967, memuat tulisan Jauhari Achmad, yang mencoba memberikan penjelasan dan pembelaan atas penggunaan istilah ¨Cina〃. Dia menyatakan digunakannya kembali istilah ¨Cina〃 bisa secara cepat mendapatkan sambutan secara luas, membuktikan bahwa istilah itu sesuai dengan kehendak rakyat Indonesia. Penulis menyangkal bahwa istilah ¨Cina〃 mengandung arti penghinaan. Dikatakan selanjutnya, seandainya bermakna penghinaaan, itu juga dibuat oleh masyarakat orang Tionghoa sendiri. ¨Kesensitifan orang Tionghoa dalam masalah ini berhubungan erat dengan sikap dan tindakan mereka dibidang perdagangan. Sikap dan tindakan mereka itu justru yang melukai perasaan pribumi Indonesia.〃
Dibawah tekanan keras dari pemerintah Soeharto setelah tahun 1967, sebagian besar pers-suratkabar menyebutkan Tiongkok dengan ¨Cina〃, hanya sebagian kecil saja, seperti Harian ¨Merdeka〃 pernah bertahan menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dalam jangka waktu cukup lama. ¨Kamus Besar Indonesia〃 terbitan Departemen Pendidikan cetakan tahun 1988, tidak lagi bisa ditemukan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Yang ada hanyalah ¨Cina〃 yang berarti 1. satu negara besar di Asia; 2. Suku bangsa yang tinggal dinegara itu. Dan dalam penjelasan lebih lanjut dinyatakan ¨Republik Rakyat Cina. Kecuali itu, ada juga sementara politikus dalam pembicaraan dan tulisannya sekaligus menggunakan Cina dan Tiongkok.
Sampai pada tahun 1997, dikeluarkannya ¨Kamus Umum Mandarin - Indonesia〃 terbitan Universitas Indonesia, juga tidak terdapat istilah ¨Tiongkok〃, yang ada hanya kata ¨Zhong Hua〃 diterjemahkan jadi Tionghoa. Sedang dalam penjelasan tambahan ke-13 kata ¨Zhong Guo〃 diterjemahkan jadi ¨Cina〃 dan ¨Zhong Hua Ren Min Gong He Guo〃 diterjemahkan jadi ¨Republik Rakyat Cina〃. Inilah akibat politik anti Tiongkok dan anti Tionghoa yang telah merasuk dan meluas dijaman pemerintahan Soeharto.
Sungguh sangat menggembirakan kita, perkembangan reformasi dan demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini telah membawakan suasana baru. Pada saat Abdurrahman Wahid menjabat Presiden Indonesia diakhir tahun 1999, pejabat-pejabat resmi pemerintahan mulai menggunakan lagi istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃 menggantikan ¨Cina〃. Presiden Wahid sendiri memelopori dalam kata sambutannya menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Penulis ketika mengunjungi Indonesia pada Agustus 2000, sahabat-sahabat lama menjelaskan pada penulis, bahwa Presiden Wahid didalam laporan kerja pemerintah bulan Agustus itu, sudah secara tegas menggunakan sebutan ¨Republik Rakyat Tiongkok〃
dan tidak lagi menyebut ¨Republik Rakyat Cina〃. Tentu ini adalah satu berita yang sangat menggemberikan.
Dalam laporan lain, yang pada saat kini menjabat wakil Presiden, Megawati bahkan merasakan dirinya bangga bisa menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃 lagi. Pada tahun 1998 didepan rapat massa di Jawa Timur, Megawati bahkan pernah mengatakan: ¨Sejak dahulu sampai sekarang, saya tetap menggunakan sebutan Tiongkok dan Tionghoa, keyakinan saya ini tidak berubah untuk selama-lamanya〃.
September 1999, Konsulat Indonesia di Hong Kong ketika mengucapkan Selamat 50 Tahun Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok dan pada bulan Juni 2000 dalam rangka memperingati 50 tahun Hubungan Diplomatik RI-RRT, beliau juga sudah menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃, tidak lagi ¨Cina〃.
Agustus 2000, ketika Wakil Presiden Tiongkok Hu Jin Tao mengunjungi Indonesia, Duta Besar Indonesia di Tiongkok, Kuntara yang menyertai delegasi, dalam setiap siaran pers dan pembicaraan didepan umum, beliau menggunakan istilah Republik Rakyat China.
Mayoritas yang dinamakan pribumi Indonesia bisa mengerti, demi menghormati dan tidak melukai perasaan rakyat Tiongkok dan peranakan Tionghoa yang hidup di Indonesia, mereka bisa tidak menggunakan sebutan ¨Cina〃 lagi, tapi kembali menggunakan sebutan ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Tetapi, karena penggunaan istilah ¨Cina〃 yang dipaksakan itu sudah berlangsung dan terbiasa selama puluhan tahun, tidaklah aneh kalau akhirnya sudah menjadi sebutan sehari-hari.
Dan dengan demikian kitapun tidak perlu terlalu kecewa dan pesimis. Sayapun yakin, mayoritas mutlak mereka tentunya tidak ada maksud untuk menghina dan melukai perasaan rakyat Tiongkok, dan bisa bersahabat bagaiakan sesaudara dengan peranakan Tionghoa yang sudah hidup turun temurun di Indonesia. Kita harus bisa sabar melancarkan propaganda dan menanti kesediaan mereka merubah sebutan yang tidak tepat itu.
5. Beberapa alternatif penyelesaian
Sementara ini paling sedikit ada 3 cara penyelesaian. Pertama terus menggunakan istilah ¨Cina〃 dalam menyebut Tiongkok; Kedua, merubahnya kembali dengan sebutan Tiongkok; dan Ketiga, menggunakan ejaan bahasa Inggris ¨China〃.
Kecuali itu, ada juga sementara orang mengajukan untuk menggunakan istilah Zhongguo (seperti yang diajukan wartawan Oei Liong Thai, Tionghoa asal Indonesia yang telah menentap di Belanda) atau Caina, dll. Tetapi, pendapat penulis sebutan yang lebih tepat dan ilmiah seharusnya adalah Republik Rakyat Tionghoa.
Yang pasti kami tidak bisa menerima sebutan Tiongkok sebagai ¨Cina〃. Sebagaimana pada tahun 1967 pemerintah Soeharto memaksakan perubahan Tiongkok menjadi Cina dengan alasan: 1. Untuk menghilangkan rasa ¨rendahdiri〃 yang ada pada kaum pribumi dan menghapus rasa ¨superior〃 dari orang Tionghoa dan Hakiao di Indonesia; 2. Pemulihan istilah yang umum digunakan didalam dan diluar Indonesia dengan berbagai bahasa dalam sebutan Tiongkok dan rakyat Tiongkok; 3. Keseragaman bahasa yang digunakan dalam sebutan terhadap ¨Tiongkok〃.
Kami mengambil sikap menentang dan mengkritik alasan yang diajukan pemerintah indonesia itu. Seperti yang telah dijelaskan terdahulu, masalah sebutan terhadap negara kami adalah masalah prinsip yang menghargai Tiongkok sebagai negara. Jadi, seharusnya diatas dasar pengertian inilah kita melanjutkan mendalami pengertian dan berdiskusi. Sebenarnya istilah ¨Cina〃 adalah istilah yang netral. Tetapi, dalam sejarah Indonesia, imperialisme penjajah-Belanda justru menggunakan istilah ¨Cina〃 itu untuk menghina Tiongkok. Pada awal abad 20 gerakan pembebasan nasional rakyat Asia makin memuncak, orang Tionghoa Indonesia yang revolusioner mendirikan Tionghoa Hui Kwan, yang tegas menentang kaum penjajah menggunakan istilah ¨Cina〃 yang bermakna menghina itu dan menggunakan sebutan Tiongkok. Terutama setelah Revolusi Xing-hai yang dipimpin Dr. Sun Yat Sen tahun 1911 berhasil menggulingkan Dinasti ¨Qing〃, dan dibentuknya Republik Tiongkok, orang Tionghoa di Indonesia secara resmi
menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃, sebagai satu pernyataan penghargaan dan perasaan menghormati hasil kemenangan rakyat Tiongkok, sekaligus juga perasaan bangga sebagai turunan berkulit-kuning. Jadi, sekali-kali bukan sesuatu perasaan ¨superior〃 terhadap pribumi Indonesia yang dituduhkan sementara orang.
Sedikitpun juga tidak beralasan kalau dinyatakan bahwa penggunaan istilah ¨Tiongkok〃 membuat rasa ¨rendah-diri〃 pada pribumi Indonesia. Ambillah Proklamator Kemerdekaan RI, Soekarno sebagai pejuang besar melawan imperialisme dan kolonilaisme sebagai contoh ( bahkan yang oleh pemerintah Soeharto sendiri, Soekarno pada 8 Nopember 1986 dinobatkan sebagai Pahlawan Bangsa), baik jauh sebelum maupun setelah kemerdekaan, beliau selalu menggunakan istilah Tiongkok dalam menyebutkan negara kami, tidak sekali juga beliau menggunakan istilah Cina atau Tjina. Ini adalah sikap agung Soekarno, yang bisa menghargai dan menghormati Sun Yat Sen dan rakyat Tiongkok dan menjadikannya teladan berevolusi bagi dirinya sendiri. Adalah juga Soekarno yang telah menempatkan Republik Rakyat Tiongkok sebagai kawan seperjuangan rakyat Indonesia dalam melawan imperialisme dan kolonialisme. Dengan sebutan ¨Tiongkok〃 pada Zhongguo itu, apakah bisa dikatakan Soekarno telah menempatkan nasion Indonesia
¨rendah-diri〃? Tentu saja tidak!
Apa yang dikatakan ¨Pemulihan istilah yang umum digunakan didalam dan diluar Indonesia dengan berbagai bahasa dalam sebutan Tiongkok dan rakyat Tiongkok〃. Umum mengetahui, bahwa bahasa yang digunakan didunia internasional, dalam bahasa Inggris menyebut Tiongkok dengan China, dan jelas istilah ¨Cina〃 dalam ejaan Indonesia mempunyai latar belakang senjarah yang berlainan. Bahasa Indonesia bukanlah bahasa Inggris, dan dalam jangka waktu panjang didalam bahasa Indonesia juga sudah menggunakan istilah Tiongkok dalam menyebutkan Zhonggou dalam lafak Hokkian. Jadi, adalah juga tidak beralasan perubahan penggunaan istilah ¨Cina〃 dalam sebutan ¨Tiongkok〃 untuk keseragaman bahasa yang dipakai internasional.
Keseragaman sebutan istilah untuk ¨Zhongguo〃, juga tidak masuk akal. Belasan tahun sebelum tahun 1965, di Indonesia dari atas sampai kebawah semua menyebut ¨Tiongkok〃 untuk Zhongguo, dan bukan Cina (Tjina). Baru setelah tahun 1967, dilancarkan gelombang anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa oleh pemerintah Suharto, digunakanlah istilah ¨Cina〃 untuk mengganti istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Yang jelas adalah bermuatan politik dan bukan untuk keseragaman bahasa dan istilah!
Bagi Indonesia, penggunaan istilah bahasa Inggris ¨China〃 untuk menggantikan sebutan Tiongkok masih lebih baik ketimbang sebutan ¨Cina〃. Karena ¨China〃 bersifat netral sedang ¨Cina〃 bermakna menghina. Tetapi, dalam ejaan baru bahasa Indonesia tidak ada bunyi ejaan dengan Ch, jadi kurang selaras seandainya memaksakan istilah bahasa Inggris China kedalam bahasa Indonesia. Ini kalau sekadar kita tinjau dari segi bahasa. Tapi, kalau kita mau meng-Indonesiakan nama Zhongguo dari bahasa Inggris, mengapa tidak meng-Indonesiakan nama-nama negara ¨Amerika〃, ¨Inggris〃, ¨Perancis〃,
¨Belanda〃 dll negara juga dari bahasa Inggris? Sebagai satu langkah keseragamanan bahasa dan istilah?
Sejak Soeharto naik tahta di tahun 1967 merubah penggunaan istilah ¨Tiongkok〃 menjadi ¨Cina〃, dan setelah Soeharto lengser ditahun 1998 berarti istilah ¨Cina〃 telah berlangsung lebih dari dari 30 tahun didalam masyarakat Indonesia. Bahkan dikalangan generasi muda masyarakat Tionghoa juga sudah menjadi biasa dengan penggunaan istilah ¨Cina〃 itu. Tentu adalah sesuatu yang tidak realis, seandainya sekarang juga setelah dipulihkannya hubungan diplomatik kedua negara RI-RRT, istilah ¨Cina〃 dihilangkan secara keseluruhan. Diakhir tahun 60-an, dimulainya kekuasaan Soeharto, penerbitan di Indonesia dan macam-macam peta-Atlas sampai pada sebutan Laut Tiongkok Selatan, untuk merubah jadi Laut Cina Selatan juga memerlukan proses. Sedang dilihat dari Hukum, karena perubahan penggunaan sebutan ¨Tiongkok〃 jadi ¨Cina〃 adalah keputusan Presidium Kabinet ditahun 1967, maka sudah seharusnya kita juga harus menunggu pencabutan penggunaan sebutan ¨Cina〃 dari Presidium Kabinet yang akan datang.
Pelurusan masalah yang terjadi didalam masyarakat atas kesalahan sebutan terhadap nama negara kami, Zhongguo bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan bagaikan hilangnya embun dipagi hari. Tetapi, dari pandangan sejarah dan titik tolak persahabatan rakyat kedua negara yang harus saling menghargai dan menghormati, kami berhak menuntut pihak Pemerintah Indonesia untuk segera kembali menggunakan sebutan ¨Tiongkok〃 dan untuk sebautan lengkap menjadi Republik Rakyat Tiongkok. Sebagaimana tertulis diatas penandatanganan perjanjian pembukaan hubungan diplomatik kedua negera Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia ditahun 1950.
Sejarah telah mencampakan kekuasaan Soeharto yang bersikap tidak bersahabat pada rakyat Tiongkok, gerakan demokrasi dan reformasi terus bergulir meningkatkan nasionalis dan persahabatan yang harmonis antar suku. Masyarakat Tionghoa di Indonesia juga telah meningkat kesadarannya, secara inisiatif mengajukan agar pemerintah memperhatikan setiap masa sejarah sebutan terhadap kelompok suku-Tionghoa di Indonesia. Mayoritas pranakan Tionghoa di Indonesia yang lebih suka dipulihkannya kembali sebutan Tionghoa, mereka tegas menentang sebutan ¨Cina〃, karena sebutan ¨Cina〃 yang mengandung penghinaan itu sangat melukai perasaan mereka.Tuntutan demikian ini adalah satu tuntutan yang wajar, dan tentunya sangat bermanfaat untuk memperkokoh kerukunan dan persatuan nasional, sangat menguntungkan bagi usaha mendorong maju ketentraman dan kemakmuran masyarakat Indonesia.
Kong Yuan Zhi,
BeiJing, Oktober 2000
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/17385
From: "HKSIS"
Date: Mon Feb 13, 2006 9:43 pm
Monday, February 06, 2006
Kitab Klasik,Filsafat: Ajaran Kong Zi
Kitab Klasik,Filsafat: AJARAN CONFUCIUS
Posted on Sunday, March 06 @ 15:35:18 PST by xuan-tong
BAGIAN 1
Confucius (Khung Fu Zi/ Khung Zi atau Guru Khung) merupakan seorang Guru Agung, yang mana kumpulan tulisannya telah dikutip secara luas oleh berbagai kalangan sampai kehidupan saat ini.
Salah satu pandangannya yang sangat berarti adalah bahwa segala pengetahuan yang sesungguhnya berarti mengatakan apa yang diketahui bila memang mengetahui, dan mengatakan apa yang tidak diketahui bila memang tidak mengetahui. Ungkapan lainnya yang sering dijadikan tolak-ukur dan membangun semangat kepercayaan diri dalam menjalani kehidupan ini, adalah nasehatnya yang mengatakan bahwa kita janganlah bersedih hati hanya karena tidak diakui oleh orang lain, tetapi lebih baik tanyakan diri kita sendiri (instropeksi) apakah sudah sepantasnya diakui orang.
Ajaran utama Confucius menekankan cara menjalani kehidupan yang harmonis dengan mengutamakan moralitas atau kebajikan. Seseorang dilahirkan untuk menjalani hubungan tertentu sehingga setiap orang mempunyai kewajiban tertentu. Sebagai contoh, kewajiban terhadap negara, kewajiban terhadap orang tua, kewajiban untuk menolong teman, dan suatu kewajiban umum terhadap kehidupan manusia.
Kewajiban-kewajiban tersebut tidaklah sama dimana kewajiban terhadap negara dan orang tua lebih diutamakan daripada kewajiban terhadap teman dan kehidupan manusia. Sifat-sifat mulia yang diajarkan oleh Confucius bertujuan untuk menciptakan manusia yang berbudi-pekerti luhur yang disebut Budiman (C'un Zi), suatu proses latihan yang meliputi peningkatan kualitas diri secara tetap, dan kemampuan berinteraksi di dalam kehidupan bermasyarakat secara berkelanjutan. Walaupun Beliau menekankan proses belajar sebagai 'suatu kepentingan untuk diri sendiri', dimana pada akhirnya terbentuk pengetahuan diri dan realisasi diri, namun Beliau juga menyatakan bahwa kebanyakan orang akan memperoleh pendidikan sejati secara alami.
Confucius dikenal juga sebagai guru pertama di Tiongkok yang memperjuangkan tersedianya pendidikan bagi semua orang, dan menekankan bahwa pendidikan bukan hanya sebagai suatu kewajiban semata-mata, melainkan suatu cara untuk menjalani kehidupan ini.
Beliau mempercayai bahwa semua orang dapat menarik manfaat dari hasil pengolahan diri dalam belajar. Beliau mengabdikan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar dengan tujuan meningkatkan dan mengubah kehidupan sosial saat itu. Confucius juga memperkenalkan suatu program ajaran moralitas atau kebajikan untuk para calon pimpinan negara, membuka peluang belajar bagi semua orang, dan mendefinisikan kegiatan belajar tidak hanya berdasarkan penguasaan pengetahuan semata-mata, tetapi juga membentuk moralitas atau kebajikan seseorang.
RIWAYAT SINGKAT CONFUCIUS
Confucius, bernama kecil Khung Chiu atau Zhong Ni, lahir pada masa pemerintahan Raja Ling dari dinasti Zhou (551 SM) di desa Chang Ping Negara bagian Lu (Sekarang Chu-fu, propinsi Shandong).
Secara tradisi dikatakan bahwa Confucius dilahirkan pada hari ke-27 bulan lunar ke-8, tetapi hal tersebut masih dipertanyakan oleh para ahli sejarah.
Di kebanyakan Negara Asia Timur, kelahiran Confucius diperingati pada tanggal 28 September, dan di Taiwan pada hari tersebut diberlakukan sebagai hari libur nasional atau 'Hari Guru'.
Ayahnya meninggal dunia pada saat Confucius berusia 3 tahun, dan ibunya menyusul pada waktu Beliau berumur 17 tahun. Pada usia 15 tahun , Confucius telah mempelajari berbagai buku pelajaran.
Menjalani kehidupan berkeluarga pada usia 19 tahun dengan menikahi gadis dari negara bagian Song bernama Yuan Guan. Anak pertama Confucius lahir setahun kemudian dan diberi nama Khung Li. Sebagai seorang pemuda , Beliau cepat dikenal sebagai seorang yang bijaksana, sopan dan senang belajar. Berbagai pekerjaan pernah dilakukan oleh Confucius, antara lain sebagai kepala pembukuan di lumbung padi, pengawas peternakan, dan mandor bangunan.
Untuk kemudian Confucius sangat mengkonsentrasikan diri dalam mempelajari sejarah (Shu), ungkapan-ungkapan (Shi), tata krama (Li) dan musik (Yue) sebelum diangkat sebagai gubernur distrik tengah Lu oleh Bangsawan Ding.
Beliau melakukan berbagai perjalanan dan pernah menimba ilmu pengetahuan di Ibu Kota Negara, Zhou, dimana Beliau bertemu dan berdiskusi dengan Lau Zi. Tidak diketahui siapa saja guru dari Confucius, tetapi Beliau senantiasa berusaha untuk menemukan seorang guru yang ahli guna menimba ilmu dari mereka, khususnya dalam bidang tata-krama (Li) dan musik (Yue). Confucius menguasai enam seni, yaitu tata-krama, musik, memanah, menunggang kuda, menulis huruf indah (kaligrafi) dan ilmu menghitung (aritmatika). Selain itu Beliau juga menguasai berbagai bentuk tradisi klasik, sejarah dan puisi kebangsaan sehingga menjadikannya seorang pengajar yang tiada bandingnya pada saat Beliau berusia tiga-puluhan.
Dalam memegang pemerintahan, Beliau sangatlah arief dan bijaksana, sehingga selalu mendapatkan promosi jabatan (dari usia 35 tahun sampai 60 tahun) dimana Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Komisaris Polisi untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta Menteri Kehakiman. Sesudah mengundurkan diri dari jabatan pemerintahan, Confucius lebih banyak berdiam di rumah untuk menerbitkan Kitab tentang Puisi (The Book of Poetry / Odes = She Cing), menggubah musik, dan menyusun tata krama kuno termasuk menulis dan menerbitkan Kitab Sejarah Musim Semi dan Gugur (Spring and Autumn Annals = Chuen Chiu).
Confucius juga selalu meluangkan waktu untuk memberi kuliah dan berbagi pengetahuan dengan murid-muridnya. Beliau menerima siapa saja, tanpa memandang miskin atau kaya, semuanya diberikan pelajaran sesuai dengan kemampuan masing-masing, sehingga murid-muridnya mengalami penambahan dalam jumlah yang sangat besar untuk jangka waktu yang relatif pendek.
Dalam usia 67 tahun, Beliau kembali ke tempat kelahirannya untuk mengajar dan mengabadikan karya-karya tradisi klasik dengan cara menulis dan mengolah kembali bentuk karya tersebut.
Confucius meninggal dunia pada tahun 472 SM, bulan ke-4 tahun ke-16 dalam masa pemerintahan bangsawan Ai, dalam usia 73 tahun. Menurut buku 'Records of the Historian', dijelaskan bahwa 72 murid Beliau menguasai enam jenis seni, demikian juga terdapat kurang lebih 3000 orang yang mengaku sebagai pengikut Confucius waktu itu.
BAGIAN 2
AJARAN-AJARAN CONFUCIUS
Lebih tepat disebut sebagai ajaran daripada tulisan, karena banyak sekali buah karya Confucius terutama "Buku Kumpulan Ujaran [The Analects = Lun Yu]" yang ditulis kembali oleh murid-muridnya setelah Beliau meninggal dunia.
Berbagai terjemahan atas ajaran Confucius telah dilakukan ke dalam berbagai bahasa. Ajaran-ajaran Confucius tersebar ke negara-negara di luar Tiongkok, bahkan tidak sedikit yang mempengaruhi kebudayaan mereka.
Pengaruh ajaran Confucius berkembang pesat di Eropa dan Amerika, dimana dapat dilihat semboyan revolusi Perancis yang terkenal, yaitu Liberty (kebebasan), Equality (persamaan) dan Fraternity (persaudaraan), yang berasal dari ajaran kemanusiaan (Humanism) Confucius.
Demikian juga Piagam Kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence) sangat terpengaruh oleh ajaran Confucius, dimana dalam diskusi pembahasan naskah tersebut, Thomas Jefferson sendiri mengakuinya.
Negara-negara Asia paling banyak menerima pengaruh ajaran Confucius, terutama negara Korea, Jepang, Vietnam, Singapura, dan Taiwan.
Dari hasil riset ke dalam situs jaringan (Web Sites) di internet yang Penyusun lakukan, membuktikan bahwa sampai saat ini ajaran-ajaran Confucius masih diakui dan dipelajari secara meluas terutama di luar Asia.
Secara garis besar, Confucius membagi proses ajarannya melalui 4 tahapan, yaitu:
1. Mengarahkan pikiran kepada cara.
2. Mendasarkan diri pada kebajikan.
3. Mengandalkan kebajikan untuk mendapat dukungan.
4. Mencari rekreasi dalam seni.
Beliau menyusun 8 prinsip belajar, mendidik diri sendiri dan hubungan social, yaitu:
1. Menyelidiki hakekat segala sesuatu (Ke'-wu)
2. Bersikap Jujur
3. Mengubah pikiran kita
4. Membina diri sendiri (Hsiu-shen)
5. Mengatur keluarga sendiri
6. Mengelola negara
7. Membawa perdamaian di dunia.
Confucius membuat suatu daftar prioritas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, yaitu:
- Kelakuan adalah syarat utama,
- Berbicara adalah prioritas kedua,
- Memahami soal-soal Pemerintahan adalah prioritas ketiga,
- Kesusasteraan adalah prioritas keempat.
Ajaran-ajaran Confucius telah mempengaruhi kehidupan sebagian besar kebudayaan China baik kehidupan berumah-tangga, sosial ataupun politik.
Walaupun ajaran Confucius telah menjadi suatu ideologi resmi di Tiongkok, namun ajaran Beliau tidaklah dapat dianggap sebagai suatu organisasi keagamaan dengan gereja dan pendeta sebagaimana yang terdapat dalam agama-agama resmi lainnya.
Para cendekiawan China menghormati Confucius sebagai seorang Guru Agung dan Orang Suci tetapi tidak menyembahnya sebagai dewa. Demikian juga Confucius tidak pernah menyatakan dirinya sebagai utusan Ilahi. Namun dalam perkembangannya lebih lanjut, yang dipengaruhi oleh ajaran Taoisme saat itu, Confucius juga dipuja sebagai salah satu Dewa Pendidikan dalam vihara para Taois.
Di Indonesia, para umat Confucius sampai saat ini masih berjuang agar dapat diakui sebagai salah satu agama resmi negara dengan alasan bahwa ajaran Confucius menegaskan dan mengakui adanya keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.
Namun di negara Barat, ajaran Confucius lebih dipandang sebagai suatu ajaran moralitas yang menekankan kebangkitan diri sejati dalam bertingkah laku secara sopan dan berkepatutan serta pencurahan rasa bhakti yang tinggi terhadap orang tua, istri, anak, saudara, teman, atasan, dan pemerintahan.
Prinsip ajaran Confucius tertuang dalam sembilan karya kuno China yang diturunkan oleh Confucius dan pengikutnya yang hidup pada masa pengajaran Beliau. Karya tersebut dapat dikelompokkan dalam dua bagian utama, yaitu Empat Buku (Shih Shu) dan Lima Kitab (Wu Cing).
Kata kunci utama etika para pengikut Confucius adalah JEN, yang dapat diterjemahkan secara bervariasi sebagai Cinta Kasih, Moralitas, Kebajikan, Kebenaran, dan Kemanusiaan. Jen merupakan perwujudan akal budi luhur dari seseorang yang mana dalam hubungan antar manusia, Jen diwujudkan dalam cung, atau sikap menghormati terhadap seseorang (tertentu) ataupun orang lain (pada umumnya), dan shu, atau sikap mementingkan orang lain (altruisme) dimana terkenal dari ucapan Confucius sendiri, "Janganlah engkau lakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin engkau lakukan terhadap dirimu sendiri."
Ajaran Confucius lainnya yang penting adalah Kebenaran, Budi Pekerti, Kebijaksanaan, Kepercayaan, Bhakti, Persaudaraan, Kesetiaan, dan Kesadaran Diri.
Seseorang yang telah menguasai keseluruhan sifat luhur tersebut maka layak disebut Budiman (C'un-Zi).
Ajaran politik yang dikembangkan oleh Confucius mengarah kepada suatu pemerintahan yang bersifat paternalistik (kebapakan), dimana terjalin sikap saling menghormati dan menghargai antara pemerintahan dan rakyat. Pemimpin negara haruslah menciptakan kesempurnaan moral dengan cara memberikan contoh yang benar kepada rakyat.
Dalam ajaran pendidikan, Confucius berpegang pada teori, yang diakui selama periode pemerintahan selama Beliau masih hidup, bahwa "Dalam pendidikan, tidak ada perbedaan kelas."
BAGIAN 3
KUMPULAN BUKU / KITAB AJARAN CONFUCIUS
Kitab ajaran Confucius yang utama adalah Empat Buku [Shi Shu] dan Lima Kitab [Wu Cing]. Empat Buku merupakan suatu ajaran pokok yang ditulis oleh para pengikut Confucius sampai kehidupan Mencius. Sedangkan Lima Kitab merupakan kitab yang berasal dari era sebelum Confucius.
Empat Buku [Shi Shu]
Buku tentang Jalan Tengah [Zhong Yong] dan Buku tentang Jalan Besar [Da Xue] termasuk dua bab dalam Li-chi telah menjadi suatu karya tersendiri dan bersama dengan Buku Kumpulan Ujaran [Lun Yu] dan Pokok Pelajaran Mencius [Meng Zi], telah dipakai sebagai kurikulum pokok dalam pendidikan para pengikut Confucius selama berabad-abad sebelum kelahiran Chu Hsi (1130 - 1200), seorang filsuf Neo-Confucian yang terbesar sesudah era Mencius (371 - 289 SM).
Kemudian oleh Chu Hsi pada tahun 1190 dirangkaikan dengan urutan, Da Xue, Lun Yu, Meng Zi dan Chung Yung, dan diterbitkan menjadi satu buku dengan sebutan Shih Shu (Empat Buku). Urutan tersebut tidak konsisten adanya, karena terdapat juga banyak referensi lainnya yang tidak berurutan seperti itu. Empat Buku yang mendapatkan kedudukan di atas Lima Kitab telah menjadi naskah rujukan pokok dalam bidang pendidikan dan ujian negara selama beberapa generasi dalam sejarah Tiongkok semenjak abad ke-14.
Sehingga Empat Buku tersebut telah menciptakan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan rakyat Tiongkok sejak 600 tahun yang silam. Chu Hsi juga tercatat dalam sejarah sebagai seorang Confucianis yang juga mempelajari dengan baik ajaran Buddhisme dan Taoisme.
1. Buku tentang Pelajaran Besar (The Great Learning / Da Xue)
Buku tentang Pelajaran Besar merupakan suatu naskah yang ditulis oleh murid Confucius angkatan pertama Tseng Zi.
Selama berabad-abad naskah tersebut hanya dikenal sebagai salah satu bab dalam Li Chi (Kumpulan Ritual), satu dari Lima Kitab dalam Confucianisme, sampai akhirnya oleh Chu Hsi mempublikasikan naskah tersebut secara terpisah dan dikelompokkan dalam Shi Shu. Buku ini merupakan suatu buku panduan pembinaan diri dengan moralitas tinggi di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, dan dunia.
Da Xue menyatakan bahwa perdamaian dunia tidak akan tercapai apabila seorang pemimpin negara tidak terlebih dahulu mengatur negaranya sendiri secara teratur. Demikian juga tidak terdapat seorang pemimpin yang dapat melakukan hal tersebut sebelum tercapai keteraturan rumah tangganya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin dunia pada akhirnya ditunjukkan oleh sifat luhur dalam kehidupan pribadinya. Sifat luhur ini merupakan suatu akibat alamiah hasil perkembangan kebijaksanaan yang diperoleh dari hasil penelaahan terhadap segala sesuatu.
Da Xue memandang bahwa pemerintahan yang baik dan kedamaian dunia merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan sifat luhur pribadi seorang pemimpin yang tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kebijaksanaan.
Dalam kata pembukaan Da Xue, dijelaskan oleh Chu Hsi bahwa rangkaian pandangan tersebut mencerminkan pertumbuhan pribadi seseorang. Setiap individu haruslah mengolah sifat Kebajikan [Jen] , Keadilan [ i ], Sopan Santun [ Li ], dan Kebijaksanaan [ Chih ], tetapi sifat luhur tersebut sulit untuk dapat dikembangkan secara berkeseimbangan.
2. Buku Kumpulan Ujaran (The Analects / Lun Yu)
Buku Kumpulan Ujaran ini merupakan kumpulan tulisan yang dilakukan oleh murid-muridnya, setelah Confucius meninggal dunia. Isinya berupa pembicaraan-pembicaraan dan nasehat-nasehat yang diberikan oleh Confucius kepada murid-muridnya, termasuk perkataan murid-muridnya yang berkaitan dengan kehidupan saat itu.
Tulisan ini berupa suatu gugusan pembicaraan yang terdiri dari 20 bab dengan pembagian alinea di masing-masing bab.
Lun Yu yang berarti 'Ujaran' dalam bahasa mandarin, adalah merupakan satu dari Empat Buku yang diterbitkan kembali dalam tahun 1190 oleh Chu Hsi dan merupakan karya klasik terbesar dalam Shih Shu (Empat Buku).
Lun Yu dipertimbangkan oleh para cendekiawan sebagai sumber yang paling dipercayai dalam doktrin Confucianisme, dan pada umumnya merupakan naskah pertama yang dipelajari oleh para pengikut ajaran Confucius. Buku ini berisi konsep etika dasar Confucius yang bersifat praktis seperti konsep : Kebajikan [Jen], Budiman [C'un Zi], Yang Maha Kuasa [Th'ien], Jalan Tengah [Chung Yung], Sopan Santun [Li], dan Kesempurnaan Nama [Cheng Ming].
Cheng Ming mencerminkan bahwa seseorang haruslah bertindak sesuai dengan kebenaran karena akan mempengaruhi nama baik seseorang, seperti perkawinan haruslah dipandang sebagai perkawinan yang benar bukan hanya sekedar untuk kumpul kebo.
Di antara berbagai ujaran dalam Lun yu yang disampaikan oleh Confucius, terdapat penjelasan mengenai Bhakti [Hsiao] yang berarti pencurahan rasa bhakti dengan tulus kepada orangtua, yang dikatakan oleh Confucius, bahkan anjing dan kuda juga memiliki sifat bhakti tersebut.
Sifat Bhakti tersebut tidak akan muncul tanpa penghormatan yang luhur terhadap orangtua. Lun Yu juga berisi ujaran Confucius mengenai kehidupan berumah tangga sebagaimana yang dicatat oleh murid-muridnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa Lun Yu belumlah tersusun secara sistimatis, dan adakalanya terjadi pengulangan, bahkan terkadang terkesan kurang akurat ditinjau dari sisi sejarah.
BAGIAN 4
3. Pokok-pokok pelajaran Mencius (The Principle of Mencius / Meng Zi)
Buku ini terdiri dari 7 jilid A dan B dimana merupakan suatu kumpulan tulisan ajaran dan percakapan Mencius dalam menjalani kehidupan pada saat itu dengan menegakkan kemurnian ajaran Confucius.
Pendirian Mencius yang kukuh adalah mengungkapkan Cinta Kasih dan Kebenaran, menebarkan Jalan Suci dan Kebajikan, mengakui Yang Maha Esa (TAO).
Mencius merupakan salah satu filsuf pengikut Confucius yang terkenal dan hidup sekitar abad ke-4 SM serta mendapatkan julukan Ya Sheng atau Guru Agung Kedua.
Walaupun Buku Mencius belum dikenal secara umum sebagai suatu karya klasik sampai abad ke-12, namun telah tercatat dalam sejarah bahwa pada permulaan abad ke-2 SM terdapat suatu kumpulan para cendekiawan yang telah mengajarkan ajaran Mencius.
Chu Hsi mempublikasikan ajaran Mencius bersama tiga buku lainnya dalam tahun 1190 ke dalam kelompok Shih Shu.
Buku ini menekankan pemerintahan dan menguraikan bahwa kesejahteraan rakyat adalah merupakan hal yang paling utama di atas segala-galanya. Apabila seorang pimpinan negara tidak lagi memiliki sifat Kebajikan [Jen] dan Keadilan [ i ], maka kewenangan dari Yang Maha Tinggi [Th'ien Ming] kepadanya telah ditarik, dan dia haruslah disingkirkan.
Mencius juga menyatakan bahwa Bhakti [Hsiao] merupakan dasar utama dalam kehidupan bermasyarakat. Dan bagi dia, perbuatan bhakti yang terbesar adalah yang dilakukan terhadap orangtua.
Kepopuleran Mencius terutama berdasarkan hikayat yang timbul dalam kebudayaan China sebagaimana dalam contoh kiasannya, yang mengatakan bahwa karena manusia tunduk kepada Yang Maha Tinggi, maka sifat sejatinya cenderung baik sebagaimana sifat air yang selalu mengalir ke bawah.
Sebagai bukti atas hal tersebut, Mencius menyampaikan beberapa contoh antara lain, cinta sejati dari anak-anak terhadap orangtuanya, perasaan atas suatu perbuatan baik dan buruk yang dipahami secara universal, dan pengalaman sentakan ketika seseorang melihat seorang anak kecil dalam bahaya.
Doktrin mengenai sifat sejati tersebut ditolak dengan tegas oleh Hsun Zi pada abad ke-3 SM yang mengajarkan bahwa sifat alami manusia adalah egois dan buruk adanya sehingga harus belajar kebajikan melalui pendidikan yang benar. Posisi filsafat Mencius telah lama diterima sebagai suatu cerminan ortodok dari Confucianisme.
4. Buku tentang Jalan Tengah (The Doctrine of the Mean / Chung Yung)
Buku ini ditulis oleh Zi Shih (Khung Chi) , cucu Confucius yang kemudian disusun kembali oleh Chu Hsi menjadi satu bab utama dan 32 bab uraian.
Buku ini berisi panduan pembinaan diri menempuh Jalan Suci dengan beriman kepada Yang Maha Tinggi [Th'ien] dengan menjalani FirmanNya dan bertindak-laku sebagai seorang Budiman Sejati.
Chung Yung yang berarti 'Tengah' atau 'Yang Tidak Berubah' adalah merupakan salah satu buku yang dipublikasikan kembali oleh Chu Hsi pada tahun 1190 dalam kelompok Shih Shu (Empat Buku).
Chung Yung dipilih oleh Chu Hsi karena ketertarikannya akan hal-hal yang bersifat metafisikal dalam buku tersebut dimana juga telah lama menarik perhatian para Buddhis dan para pengikut Neo-Confucianis sebelumnya.
Dalam kata pengantarnya, Chu Hsi menyampaikan hasil karya tersebut sebagai karyanya Zi Shih, walaupun pada kenyataannya karya ini merupakan salah satu bagian dari Li Chi.
Zi Shih menyatakan bahwa Chung Yung merupakan tema pokok dalam ajaran Confucius. Dua karakter China dalam kata Chung Yung, sering juga diterjemahkan sebagai 'Jalan Tengah', mencerminkan suatu pemikiran Confucianis yang begitu luas, dan melingkupi hampir keseluruhan sifat keluhuran dari setiap hubungan dan kegiatan dalam kehidupan seseorang. Secara praktis, Chung Yung dapat dipandang sebagai suatu hal yang tidak dapat diukur dalam arti kata bersifat sederhana, adil, obyektif, rasa hormat, ketulusan, kejujuran, sopan santun, seimbang, dan tanpa adanyaprasangka.
Sebagai contoh, hubungan dengan seorang teman tidaklah perlu harus terlalu jauh ataupun terlalu dekat. Seseorang tidaklah harus bersikap berlebihan baik dalam duka ataupun suka, karena terlalu larut dalam duka akan menyakitkan, demikian juga apabila terlalu bergelimang dalam suka akan sulit dikendalikan. Seseorang haruslah melekat tanpa bergeming dalam usahanya menempuh Jalan Tengah tersebut di berbagai situasi dan waktu.
Sifat demikian sesuai dengan hukum alam yang merupakan inti dari kebenaran pada umumnya, dimana merupakan suatu ciri tersendiri dari seorang Budiman.
BAGIAN 5
Lima Kitab (Five Classics / Wu Cing)
Penyalinan ulang Lima Kitab [Wu Cing] merupakan suatu perwujudan nyata dimulainya era tradisi Confucianisme. Pencantuman naskah pra-Confucianis yaitu Kitab tentang Sejarah [Shu Cing] dan Kitab tentang Sajak [Shi Cing], dan naskah Ch'in Han seperti bagian tertentu dari Kitab tentang Upacara [Li Chi], mencerminkan bahwa semangat dibalik kebangkitan rencana pendidikan inti terhadap ajaran Confucius adalah bersifat menyeluruh. Lima Kitab dapat diuraikan dalam lima konsep pandangan, yaitu metafisikal, politik, puisi, sosial, dan sejarah.
Wu Cing yang isinya sangat sulit dimengerti tersebut pada umumnya dipelajari setelah seseorang menguasai naskah yang ada dalam Empat Buku [Shih Shu]. Pada tahun 136 SM dalam masa pemerintahan dinasti Han, kaisar Wu-ti mengumumkan ajaran Confucius sebagai ideologi negara China.
Gelar Guru kehormatan [po shih] diberikan khusus kepada para pengajar yang diangkat untuk mengajar Wu Cing dimana hal ini masih terus berlanjut sampai memasuki abad ke-20. Pada tahun 124 SM, Wu Cing dimasukkan dalam kurikulum pelajaran inti di perguruan tinggi.
Keahlian dalam menyajikan dan menjelaskan naskah Wu Cing menjadi suatu persyaratan mutlak bagi para sarjana yang hendak menjabat di pemerintahan.
Wu Cing terdiri dari I Cing (Kitab tentang Kejadian/Perubahan), Shu Cing (Kitab tentang Sejarah), Shih Cing (Kitab tentang Sajak), Li Chi (Rangkaian Upacara), dan Ch'un Ch'iu (Riwayat Ch'un Ch'iu).
1. Kitab tentang Kejadian/Perubahan (The Book of Change / I Cing)
Kitab ini merupakan salah satu kitab tertua yang diperkirakan sudah ada sejak masa 1100 SM sebagai suatu kitab yang mengandung filsafat hidup yang tinggi dimana menghubungkan kejadian alam semesta dengan berbagai perubahan terhadap kehidupan sehari-hari. Sejarah di Tiongkok mencatat bahwa I Cing banyak dipakai oleh para peramal pada zaman dinasti untuk menasehati para penguasa selama masa perang antar negara. Kemungkinan kitab ini disusun kembali oleh Confucius dan murid-muridnya. Kitab ini terdiri dari 24.707 huruf terbagi atas 64 bab sesuai dengan jenis heksagram Yin (negatif) dan Yang (positif).
Pandangan metafisikal tercermin dalam kitab ini yang merupakan kombinasi seni peramalan dengan teknik perhitungan dan perenungan secara mendalam.
Sesuai dengan filosofi perubahan, alam semesta ini terus mengalami perubahan akbar yang disebabkan adanya interaksi konstan dua unsur energi yang saling mendukung ataupun saling bertentangan, yaitu Yin (unsur negatif) dan Yang (unsur positif).
Alam semesta yang berasal dari perubahan akbar tersebut senantiasa mencerminkan kesatuan dan dinamisme tujuan.
Seorang Budiman akan senantiasa diilhami oleh keharmonisan dan kreativitas dari
pergerakan alam semesta ini, sehingga dia dapat menguasai pola perubahan tersebut dengan cara senantiasa memadamkan usaha yang mementingkan diri sendiri (egois) sehingga tercapai realisasi pokok pikiran paling tinggi dalam penyatuan manusia dan Yang Maha Kuasa.
Naskah utama dalam I Cing dipercayai merupakan hasil karya Wen Wang (hidup sekitar abad ke-12 SM), seorang petapa dan perintis dinasti Chou.
Kitab ini berisi suatu pembahasan mengenai sistem peramalan yang dipergunakan oleh para peramal dinasti Chou.
Terdapat satu bagian pelengkap komentar yang dipercayai sebagai hasil karya para cendekiawan yang hidup pada masa Perang Negara (475 - 221 SM), dan dalam kedudukan filsafat dapat ditafsirkan sebagai suatu karya yang berusaha mencerminkan prinsip keberadaan alam semesta, sehingga karya ini dapat dianggap mengandung nilai sejarah filsafat China yang tinggi.
Bagaimanapun para sarjana modern merasa terusik atas keberadaan I Cing dalam kumpulan klasik ajaran Confucius dengan alasan Confucius selalu berusaha menghindari membicarakan sesuatu yang bersifat esoterik.
Hal ini dapat dimengerti karena para pengikut Confucius pada masa dinasti Han (sekitar abad ke-2 SM) yang sangat terpengaruh oleh praktek Taois mengenai kekekalan, telah melakukan penyesuaian penggunaan I Cing dengan menambahkan beberapa komentar sesuai ajaran Confucius.
Selanjutnya mereka memasukkan I Cing sebagai bagian dari Wu Cing.
Read more
Posted on Sunday, March 06 @ 15:35:18 PST by xuan-tong
BAGIAN 1
Confucius (Khung Fu Zi/ Khung Zi atau Guru Khung) merupakan seorang Guru Agung, yang mana kumpulan tulisannya telah dikutip secara luas oleh berbagai kalangan sampai kehidupan saat ini.
Salah satu pandangannya yang sangat berarti adalah bahwa segala pengetahuan yang sesungguhnya berarti mengatakan apa yang diketahui bila memang mengetahui, dan mengatakan apa yang tidak diketahui bila memang tidak mengetahui. Ungkapan lainnya yang sering dijadikan tolak-ukur dan membangun semangat kepercayaan diri dalam menjalani kehidupan ini, adalah nasehatnya yang mengatakan bahwa kita janganlah bersedih hati hanya karena tidak diakui oleh orang lain, tetapi lebih baik tanyakan diri kita sendiri (instropeksi) apakah sudah sepantasnya diakui orang.
Ajaran utama Confucius menekankan cara menjalani kehidupan yang harmonis dengan mengutamakan moralitas atau kebajikan. Seseorang dilahirkan untuk menjalani hubungan tertentu sehingga setiap orang mempunyai kewajiban tertentu. Sebagai contoh, kewajiban terhadap negara, kewajiban terhadap orang tua, kewajiban untuk menolong teman, dan suatu kewajiban umum terhadap kehidupan manusia.
Kewajiban-kewajiban tersebut tidaklah sama dimana kewajiban terhadap negara dan orang tua lebih diutamakan daripada kewajiban terhadap teman dan kehidupan manusia. Sifat-sifat mulia yang diajarkan oleh Confucius bertujuan untuk menciptakan manusia yang berbudi-pekerti luhur yang disebut Budiman (C'un Zi), suatu proses latihan yang meliputi peningkatan kualitas diri secara tetap, dan kemampuan berinteraksi di dalam kehidupan bermasyarakat secara berkelanjutan. Walaupun Beliau menekankan proses belajar sebagai 'suatu kepentingan untuk diri sendiri', dimana pada akhirnya terbentuk pengetahuan diri dan realisasi diri, namun Beliau juga menyatakan bahwa kebanyakan orang akan memperoleh pendidikan sejati secara alami.
Confucius dikenal juga sebagai guru pertama di Tiongkok yang memperjuangkan tersedianya pendidikan bagi semua orang, dan menekankan bahwa pendidikan bukan hanya sebagai suatu kewajiban semata-mata, melainkan suatu cara untuk menjalani kehidupan ini.
Beliau mempercayai bahwa semua orang dapat menarik manfaat dari hasil pengolahan diri dalam belajar. Beliau mengabdikan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar dengan tujuan meningkatkan dan mengubah kehidupan sosial saat itu. Confucius juga memperkenalkan suatu program ajaran moralitas atau kebajikan untuk para calon pimpinan negara, membuka peluang belajar bagi semua orang, dan mendefinisikan kegiatan belajar tidak hanya berdasarkan penguasaan pengetahuan semata-mata, tetapi juga membentuk moralitas atau kebajikan seseorang.
RIWAYAT SINGKAT CONFUCIUS
Confucius, bernama kecil Khung Chiu atau Zhong Ni, lahir pada masa pemerintahan Raja Ling dari dinasti Zhou (551 SM) di desa Chang Ping Negara bagian Lu (Sekarang Chu-fu, propinsi Shandong).
Secara tradisi dikatakan bahwa Confucius dilahirkan pada hari ke-27 bulan lunar ke-8, tetapi hal tersebut masih dipertanyakan oleh para ahli sejarah.
Di kebanyakan Negara Asia Timur, kelahiran Confucius diperingati pada tanggal 28 September, dan di Taiwan pada hari tersebut diberlakukan sebagai hari libur nasional atau 'Hari Guru'.
Ayahnya meninggal dunia pada saat Confucius berusia 3 tahun, dan ibunya menyusul pada waktu Beliau berumur 17 tahun. Pada usia 15 tahun , Confucius telah mempelajari berbagai buku pelajaran.
Menjalani kehidupan berkeluarga pada usia 19 tahun dengan menikahi gadis dari negara bagian Song bernama Yuan Guan. Anak pertama Confucius lahir setahun kemudian dan diberi nama Khung Li. Sebagai seorang pemuda , Beliau cepat dikenal sebagai seorang yang bijaksana, sopan dan senang belajar. Berbagai pekerjaan pernah dilakukan oleh Confucius, antara lain sebagai kepala pembukuan di lumbung padi, pengawas peternakan, dan mandor bangunan.
Untuk kemudian Confucius sangat mengkonsentrasikan diri dalam mempelajari sejarah (Shu), ungkapan-ungkapan (Shi), tata krama (Li) dan musik (Yue) sebelum diangkat sebagai gubernur distrik tengah Lu oleh Bangsawan Ding.
Beliau melakukan berbagai perjalanan dan pernah menimba ilmu pengetahuan di Ibu Kota Negara, Zhou, dimana Beliau bertemu dan berdiskusi dengan Lau Zi. Tidak diketahui siapa saja guru dari Confucius, tetapi Beliau senantiasa berusaha untuk menemukan seorang guru yang ahli guna menimba ilmu dari mereka, khususnya dalam bidang tata-krama (Li) dan musik (Yue). Confucius menguasai enam seni, yaitu tata-krama, musik, memanah, menunggang kuda, menulis huruf indah (kaligrafi) dan ilmu menghitung (aritmatika). Selain itu Beliau juga menguasai berbagai bentuk tradisi klasik, sejarah dan puisi kebangsaan sehingga menjadikannya seorang pengajar yang tiada bandingnya pada saat Beliau berusia tiga-puluhan.
Dalam memegang pemerintahan, Beliau sangatlah arief dan bijaksana, sehingga selalu mendapatkan promosi jabatan (dari usia 35 tahun sampai 60 tahun) dimana Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Komisaris Polisi untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta Menteri Kehakiman. Sesudah mengundurkan diri dari jabatan pemerintahan, Confucius lebih banyak berdiam di rumah untuk menerbitkan Kitab tentang Puisi (The Book of Poetry / Odes = She Cing), menggubah musik, dan menyusun tata krama kuno termasuk menulis dan menerbitkan Kitab Sejarah Musim Semi dan Gugur (Spring and Autumn Annals = Chuen Chiu).
Confucius juga selalu meluangkan waktu untuk memberi kuliah dan berbagi pengetahuan dengan murid-muridnya. Beliau menerima siapa saja, tanpa memandang miskin atau kaya, semuanya diberikan pelajaran sesuai dengan kemampuan masing-masing, sehingga murid-muridnya mengalami penambahan dalam jumlah yang sangat besar untuk jangka waktu yang relatif pendek.
Dalam usia 67 tahun, Beliau kembali ke tempat kelahirannya untuk mengajar dan mengabadikan karya-karya tradisi klasik dengan cara menulis dan mengolah kembali bentuk karya tersebut.
Confucius meninggal dunia pada tahun 472 SM, bulan ke-4 tahun ke-16 dalam masa pemerintahan bangsawan Ai, dalam usia 73 tahun. Menurut buku 'Records of the Historian', dijelaskan bahwa 72 murid Beliau menguasai enam jenis seni, demikian juga terdapat kurang lebih 3000 orang yang mengaku sebagai pengikut Confucius waktu itu.
BAGIAN 2
AJARAN-AJARAN CONFUCIUS
Lebih tepat disebut sebagai ajaran daripada tulisan, karena banyak sekali buah karya Confucius terutama "Buku Kumpulan Ujaran [The Analects = Lun Yu]" yang ditulis kembali oleh murid-muridnya setelah Beliau meninggal dunia.
Berbagai terjemahan atas ajaran Confucius telah dilakukan ke dalam berbagai bahasa. Ajaran-ajaran Confucius tersebar ke negara-negara di luar Tiongkok, bahkan tidak sedikit yang mempengaruhi kebudayaan mereka.
Pengaruh ajaran Confucius berkembang pesat di Eropa dan Amerika, dimana dapat dilihat semboyan revolusi Perancis yang terkenal, yaitu Liberty (kebebasan), Equality (persamaan) dan Fraternity (persaudaraan), yang berasal dari ajaran kemanusiaan (Humanism) Confucius.
Demikian juga Piagam Kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence) sangat terpengaruh oleh ajaran Confucius, dimana dalam diskusi pembahasan naskah tersebut, Thomas Jefferson sendiri mengakuinya.
Negara-negara Asia paling banyak menerima pengaruh ajaran Confucius, terutama negara Korea, Jepang, Vietnam, Singapura, dan Taiwan.
Dari hasil riset ke dalam situs jaringan (Web Sites) di internet yang Penyusun lakukan, membuktikan bahwa sampai saat ini ajaran-ajaran Confucius masih diakui dan dipelajari secara meluas terutama di luar Asia.
Secara garis besar, Confucius membagi proses ajarannya melalui 4 tahapan, yaitu:
1. Mengarahkan pikiran kepada cara.
2. Mendasarkan diri pada kebajikan.
3. Mengandalkan kebajikan untuk mendapat dukungan.
4. Mencari rekreasi dalam seni.
Beliau menyusun 8 prinsip belajar, mendidik diri sendiri dan hubungan social, yaitu:
1. Menyelidiki hakekat segala sesuatu (Ke'-wu)
2. Bersikap Jujur
3. Mengubah pikiran kita
4. Membina diri sendiri (Hsiu-shen)
5. Mengatur keluarga sendiri
6. Mengelola negara
7. Membawa perdamaian di dunia.
Confucius membuat suatu daftar prioritas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, yaitu:
- Kelakuan adalah syarat utama,
- Berbicara adalah prioritas kedua,
- Memahami soal-soal Pemerintahan adalah prioritas ketiga,
- Kesusasteraan adalah prioritas keempat.
Ajaran-ajaran Confucius telah mempengaruhi kehidupan sebagian besar kebudayaan China baik kehidupan berumah-tangga, sosial ataupun politik.
Walaupun ajaran Confucius telah menjadi suatu ideologi resmi di Tiongkok, namun ajaran Beliau tidaklah dapat dianggap sebagai suatu organisasi keagamaan dengan gereja dan pendeta sebagaimana yang terdapat dalam agama-agama resmi lainnya.
Para cendekiawan China menghormati Confucius sebagai seorang Guru Agung dan Orang Suci tetapi tidak menyembahnya sebagai dewa. Demikian juga Confucius tidak pernah menyatakan dirinya sebagai utusan Ilahi. Namun dalam perkembangannya lebih lanjut, yang dipengaruhi oleh ajaran Taoisme saat itu, Confucius juga dipuja sebagai salah satu Dewa Pendidikan dalam vihara para Taois.
Di Indonesia, para umat Confucius sampai saat ini masih berjuang agar dapat diakui sebagai salah satu agama resmi negara dengan alasan bahwa ajaran Confucius menegaskan dan mengakui adanya keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.
Namun di negara Barat, ajaran Confucius lebih dipandang sebagai suatu ajaran moralitas yang menekankan kebangkitan diri sejati dalam bertingkah laku secara sopan dan berkepatutan serta pencurahan rasa bhakti yang tinggi terhadap orang tua, istri, anak, saudara, teman, atasan, dan pemerintahan.
Prinsip ajaran Confucius tertuang dalam sembilan karya kuno China yang diturunkan oleh Confucius dan pengikutnya yang hidup pada masa pengajaran Beliau. Karya tersebut dapat dikelompokkan dalam dua bagian utama, yaitu Empat Buku (Shih Shu) dan Lima Kitab (Wu Cing).
Kata kunci utama etika para pengikut Confucius adalah JEN, yang dapat diterjemahkan secara bervariasi sebagai Cinta Kasih, Moralitas, Kebajikan, Kebenaran, dan Kemanusiaan. Jen merupakan perwujudan akal budi luhur dari seseorang yang mana dalam hubungan antar manusia, Jen diwujudkan dalam cung, atau sikap menghormati terhadap seseorang (tertentu) ataupun orang lain (pada umumnya), dan shu, atau sikap mementingkan orang lain (altruisme) dimana terkenal dari ucapan Confucius sendiri, "Janganlah engkau lakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin engkau lakukan terhadap dirimu sendiri."
Ajaran Confucius lainnya yang penting adalah Kebenaran, Budi Pekerti, Kebijaksanaan, Kepercayaan, Bhakti, Persaudaraan, Kesetiaan, dan Kesadaran Diri.
Seseorang yang telah menguasai keseluruhan sifat luhur tersebut maka layak disebut Budiman (C'un-Zi).
Ajaran politik yang dikembangkan oleh Confucius mengarah kepada suatu pemerintahan yang bersifat paternalistik (kebapakan), dimana terjalin sikap saling menghormati dan menghargai antara pemerintahan dan rakyat. Pemimpin negara haruslah menciptakan kesempurnaan moral dengan cara memberikan contoh yang benar kepada rakyat.
Dalam ajaran pendidikan, Confucius berpegang pada teori, yang diakui selama periode pemerintahan selama Beliau masih hidup, bahwa "Dalam pendidikan, tidak ada perbedaan kelas."
BAGIAN 3
KUMPULAN BUKU / KITAB AJARAN CONFUCIUS
Kitab ajaran Confucius yang utama adalah Empat Buku [Shi Shu] dan Lima Kitab [Wu Cing]. Empat Buku merupakan suatu ajaran pokok yang ditulis oleh para pengikut Confucius sampai kehidupan Mencius. Sedangkan Lima Kitab merupakan kitab yang berasal dari era sebelum Confucius.
Empat Buku [Shi Shu]
Buku tentang Jalan Tengah [Zhong Yong] dan Buku tentang Jalan Besar [Da Xue] termasuk dua bab dalam Li-chi telah menjadi suatu karya tersendiri dan bersama dengan Buku Kumpulan Ujaran [Lun Yu] dan Pokok Pelajaran Mencius [Meng Zi], telah dipakai sebagai kurikulum pokok dalam pendidikan para pengikut Confucius selama berabad-abad sebelum kelahiran Chu Hsi (1130 - 1200), seorang filsuf Neo-Confucian yang terbesar sesudah era Mencius (371 - 289 SM).
Kemudian oleh Chu Hsi pada tahun 1190 dirangkaikan dengan urutan, Da Xue, Lun Yu, Meng Zi dan Chung Yung, dan diterbitkan menjadi satu buku dengan sebutan Shih Shu (Empat Buku). Urutan tersebut tidak konsisten adanya, karena terdapat juga banyak referensi lainnya yang tidak berurutan seperti itu. Empat Buku yang mendapatkan kedudukan di atas Lima Kitab telah menjadi naskah rujukan pokok dalam bidang pendidikan dan ujian negara selama beberapa generasi dalam sejarah Tiongkok semenjak abad ke-14.
Sehingga Empat Buku tersebut telah menciptakan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan rakyat Tiongkok sejak 600 tahun yang silam. Chu Hsi juga tercatat dalam sejarah sebagai seorang Confucianis yang juga mempelajari dengan baik ajaran Buddhisme dan Taoisme.
1. Buku tentang Pelajaran Besar (The Great Learning / Da Xue)
Buku tentang Pelajaran Besar merupakan suatu naskah yang ditulis oleh murid Confucius angkatan pertama Tseng Zi.
Selama berabad-abad naskah tersebut hanya dikenal sebagai salah satu bab dalam Li Chi (Kumpulan Ritual), satu dari Lima Kitab dalam Confucianisme, sampai akhirnya oleh Chu Hsi mempublikasikan naskah tersebut secara terpisah dan dikelompokkan dalam Shi Shu. Buku ini merupakan suatu buku panduan pembinaan diri dengan moralitas tinggi di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, dan dunia.
Da Xue menyatakan bahwa perdamaian dunia tidak akan tercapai apabila seorang pemimpin negara tidak terlebih dahulu mengatur negaranya sendiri secara teratur. Demikian juga tidak terdapat seorang pemimpin yang dapat melakukan hal tersebut sebelum tercapai keteraturan rumah tangganya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin dunia pada akhirnya ditunjukkan oleh sifat luhur dalam kehidupan pribadinya. Sifat luhur ini merupakan suatu akibat alamiah hasil perkembangan kebijaksanaan yang diperoleh dari hasil penelaahan terhadap segala sesuatu.
Da Xue memandang bahwa pemerintahan yang baik dan kedamaian dunia merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan sifat luhur pribadi seorang pemimpin yang tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kebijaksanaan.
Dalam kata pembukaan Da Xue, dijelaskan oleh Chu Hsi bahwa rangkaian pandangan tersebut mencerminkan pertumbuhan pribadi seseorang. Setiap individu haruslah mengolah sifat Kebajikan [Jen] , Keadilan [ i ], Sopan Santun [ Li ], dan Kebijaksanaan [ Chih ], tetapi sifat luhur tersebut sulit untuk dapat dikembangkan secara berkeseimbangan.
2. Buku Kumpulan Ujaran (The Analects / Lun Yu)
Buku Kumpulan Ujaran ini merupakan kumpulan tulisan yang dilakukan oleh murid-muridnya, setelah Confucius meninggal dunia. Isinya berupa pembicaraan-pembicaraan dan nasehat-nasehat yang diberikan oleh Confucius kepada murid-muridnya, termasuk perkataan murid-muridnya yang berkaitan dengan kehidupan saat itu.
Tulisan ini berupa suatu gugusan pembicaraan yang terdiri dari 20 bab dengan pembagian alinea di masing-masing bab.
Lun Yu yang berarti 'Ujaran' dalam bahasa mandarin, adalah merupakan satu dari Empat Buku yang diterbitkan kembali dalam tahun 1190 oleh Chu Hsi dan merupakan karya klasik terbesar dalam Shih Shu (Empat Buku).
Lun Yu dipertimbangkan oleh para cendekiawan sebagai sumber yang paling dipercayai dalam doktrin Confucianisme, dan pada umumnya merupakan naskah pertama yang dipelajari oleh para pengikut ajaran Confucius. Buku ini berisi konsep etika dasar Confucius yang bersifat praktis seperti konsep : Kebajikan [Jen], Budiman [C'un Zi], Yang Maha Kuasa [Th'ien], Jalan Tengah [Chung Yung], Sopan Santun [Li], dan Kesempurnaan Nama [Cheng Ming].
Cheng Ming mencerminkan bahwa seseorang haruslah bertindak sesuai dengan kebenaran karena akan mempengaruhi nama baik seseorang, seperti perkawinan haruslah dipandang sebagai perkawinan yang benar bukan hanya sekedar untuk kumpul kebo.
Di antara berbagai ujaran dalam Lun yu yang disampaikan oleh Confucius, terdapat penjelasan mengenai Bhakti [Hsiao] yang berarti pencurahan rasa bhakti dengan tulus kepada orangtua, yang dikatakan oleh Confucius, bahkan anjing dan kuda juga memiliki sifat bhakti tersebut.
Sifat Bhakti tersebut tidak akan muncul tanpa penghormatan yang luhur terhadap orangtua. Lun Yu juga berisi ujaran Confucius mengenai kehidupan berumah tangga sebagaimana yang dicatat oleh murid-muridnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa Lun Yu belumlah tersusun secara sistimatis, dan adakalanya terjadi pengulangan, bahkan terkadang terkesan kurang akurat ditinjau dari sisi sejarah.
BAGIAN 4
3. Pokok-pokok pelajaran Mencius (The Principle of Mencius / Meng Zi)
Buku ini terdiri dari 7 jilid A dan B dimana merupakan suatu kumpulan tulisan ajaran dan percakapan Mencius dalam menjalani kehidupan pada saat itu dengan menegakkan kemurnian ajaran Confucius.
Pendirian Mencius yang kukuh adalah mengungkapkan Cinta Kasih dan Kebenaran, menebarkan Jalan Suci dan Kebajikan, mengakui Yang Maha Esa (TAO).
Mencius merupakan salah satu filsuf pengikut Confucius yang terkenal dan hidup sekitar abad ke-4 SM serta mendapatkan julukan Ya Sheng atau Guru Agung Kedua.
Walaupun Buku Mencius belum dikenal secara umum sebagai suatu karya klasik sampai abad ke-12, namun telah tercatat dalam sejarah bahwa pada permulaan abad ke-2 SM terdapat suatu kumpulan para cendekiawan yang telah mengajarkan ajaran Mencius.
Chu Hsi mempublikasikan ajaran Mencius bersama tiga buku lainnya dalam tahun 1190 ke dalam kelompok Shih Shu.
Buku ini menekankan pemerintahan dan menguraikan bahwa kesejahteraan rakyat adalah merupakan hal yang paling utama di atas segala-galanya. Apabila seorang pimpinan negara tidak lagi memiliki sifat Kebajikan [Jen] dan Keadilan [ i ], maka kewenangan dari Yang Maha Tinggi [Th'ien Ming] kepadanya telah ditarik, dan dia haruslah disingkirkan.
Mencius juga menyatakan bahwa Bhakti [Hsiao] merupakan dasar utama dalam kehidupan bermasyarakat. Dan bagi dia, perbuatan bhakti yang terbesar adalah yang dilakukan terhadap orangtua.
Kepopuleran Mencius terutama berdasarkan hikayat yang timbul dalam kebudayaan China sebagaimana dalam contoh kiasannya, yang mengatakan bahwa karena manusia tunduk kepada Yang Maha Tinggi, maka sifat sejatinya cenderung baik sebagaimana sifat air yang selalu mengalir ke bawah.
Sebagai bukti atas hal tersebut, Mencius menyampaikan beberapa contoh antara lain, cinta sejati dari anak-anak terhadap orangtuanya, perasaan atas suatu perbuatan baik dan buruk yang dipahami secara universal, dan pengalaman sentakan ketika seseorang melihat seorang anak kecil dalam bahaya.
Doktrin mengenai sifat sejati tersebut ditolak dengan tegas oleh Hsun Zi pada abad ke-3 SM yang mengajarkan bahwa sifat alami manusia adalah egois dan buruk adanya sehingga harus belajar kebajikan melalui pendidikan yang benar. Posisi filsafat Mencius telah lama diterima sebagai suatu cerminan ortodok dari Confucianisme.
4. Buku tentang Jalan Tengah (The Doctrine of the Mean / Chung Yung)
Buku ini ditulis oleh Zi Shih (Khung Chi) , cucu Confucius yang kemudian disusun kembali oleh Chu Hsi menjadi satu bab utama dan 32 bab uraian.
Buku ini berisi panduan pembinaan diri menempuh Jalan Suci dengan beriman kepada Yang Maha Tinggi [Th'ien] dengan menjalani FirmanNya dan bertindak-laku sebagai seorang Budiman Sejati.
Chung Yung yang berarti 'Tengah' atau 'Yang Tidak Berubah' adalah merupakan salah satu buku yang dipublikasikan kembali oleh Chu Hsi pada tahun 1190 dalam kelompok Shih Shu (Empat Buku).
Chung Yung dipilih oleh Chu Hsi karena ketertarikannya akan hal-hal yang bersifat metafisikal dalam buku tersebut dimana juga telah lama menarik perhatian para Buddhis dan para pengikut Neo-Confucianis sebelumnya.
Dalam kata pengantarnya, Chu Hsi menyampaikan hasil karya tersebut sebagai karyanya Zi Shih, walaupun pada kenyataannya karya ini merupakan salah satu bagian dari Li Chi.
Zi Shih menyatakan bahwa Chung Yung merupakan tema pokok dalam ajaran Confucius. Dua karakter China dalam kata Chung Yung, sering juga diterjemahkan sebagai 'Jalan Tengah', mencerminkan suatu pemikiran Confucianis yang begitu luas, dan melingkupi hampir keseluruhan sifat keluhuran dari setiap hubungan dan kegiatan dalam kehidupan seseorang. Secara praktis, Chung Yung dapat dipandang sebagai suatu hal yang tidak dapat diukur dalam arti kata bersifat sederhana, adil, obyektif, rasa hormat, ketulusan, kejujuran, sopan santun, seimbang, dan tanpa adanyaprasangka.
Sebagai contoh, hubungan dengan seorang teman tidaklah perlu harus terlalu jauh ataupun terlalu dekat. Seseorang tidaklah harus bersikap berlebihan baik dalam duka ataupun suka, karena terlalu larut dalam duka akan menyakitkan, demikian juga apabila terlalu bergelimang dalam suka akan sulit dikendalikan. Seseorang haruslah melekat tanpa bergeming dalam usahanya menempuh Jalan Tengah tersebut di berbagai situasi dan waktu.
Sifat demikian sesuai dengan hukum alam yang merupakan inti dari kebenaran pada umumnya, dimana merupakan suatu ciri tersendiri dari seorang Budiman.
BAGIAN 5
Lima Kitab (Five Classics / Wu Cing)
Penyalinan ulang Lima Kitab [Wu Cing] merupakan suatu perwujudan nyata dimulainya era tradisi Confucianisme. Pencantuman naskah pra-Confucianis yaitu Kitab tentang Sejarah [Shu Cing] dan Kitab tentang Sajak [Shi Cing], dan naskah Ch'in Han seperti bagian tertentu dari Kitab tentang Upacara [Li Chi], mencerminkan bahwa semangat dibalik kebangkitan rencana pendidikan inti terhadap ajaran Confucius adalah bersifat menyeluruh. Lima Kitab dapat diuraikan dalam lima konsep pandangan, yaitu metafisikal, politik, puisi, sosial, dan sejarah.
Wu Cing yang isinya sangat sulit dimengerti tersebut pada umumnya dipelajari setelah seseorang menguasai naskah yang ada dalam Empat Buku [Shih Shu]. Pada tahun 136 SM dalam masa pemerintahan dinasti Han, kaisar Wu-ti mengumumkan ajaran Confucius sebagai ideologi negara China.
Gelar Guru kehormatan [po shih] diberikan khusus kepada para pengajar yang diangkat untuk mengajar Wu Cing dimana hal ini masih terus berlanjut sampai memasuki abad ke-20. Pada tahun 124 SM, Wu Cing dimasukkan dalam kurikulum pelajaran inti di perguruan tinggi.
Keahlian dalam menyajikan dan menjelaskan naskah Wu Cing menjadi suatu persyaratan mutlak bagi para sarjana yang hendak menjabat di pemerintahan.
Wu Cing terdiri dari I Cing (Kitab tentang Kejadian/Perubahan), Shu Cing (Kitab tentang Sejarah), Shih Cing (Kitab tentang Sajak), Li Chi (Rangkaian Upacara), dan Ch'un Ch'iu (Riwayat Ch'un Ch'iu).
1. Kitab tentang Kejadian/Perubahan (The Book of Change / I Cing)
Kitab ini merupakan salah satu kitab tertua yang diperkirakan sudah ada sejak masa 1100 SM sebagai suatu kitab yang mengandung filsafat hidup yang tinggi dimana menghubungkan kejadian alam semesta dengan berbagai perubahan terhadap kehidupan sehari-hari. Sejarah di Tiongkok mencatat bahwa I Cing banyak dipakai oleh para peramal pada zaman dinasti untuk menasehati para penguasa selama masa perang antar negara. Kemungkinan kitab ini disusun kembali oleh Confucius dan murid-muridnya. Kitab ini terdiri dari 24.707 huruf terbagi atas 64 bab sesuai dengan jenis heksagram Yin (negatif) dan Yang (positif).
Pandangan metafisikal tercermin dalam kitab ini yang merupakan kombinasi seni peramalan dengan teknik perhitungan dan perenungan secara mendalam.
Sesuai dengan filosofi perubahan, alam semesta ini terus mengalami perubahan akbar yang disebabkan adanya interaksi konstan dua unsur energi yang saling mendukung ataupun saling bertentangan, yaitu Yin (unsur negatif) dan Yang (unsur positif).
Alam semesta yang berasal dari perubahan akbar tersebut senantiasa mencerminkan kesatuan dan dinamisme tujuan.
Seorang Budiman akan senantiasa diilhami oleh keharmonisan dan kreativitas dari
pergerakan alam semesta ini, sehingga dia dapat menguasai pola perubahan tersebut dengan cara senantiasa memadamkan usaha yang mementingkan diri sendiri (egois) sehingga tercapai realisasi pokok pikiran paling tinggi dalam penyatuan manusia dan Yang Maha Kuasa.
Naskah utama dalam I Cing dipercayai merupakan hasil karya Wen Wang (hidup sekitar abad ke-12 SM), seorang petapa dan perintis dinasti Chou.
Kitab ini berisi suatu pembahasan mengenai sistem peramalan yang dipergunakan oleh para peramal dinasti Chou.
Terdapat satu bagian pelengkap komentar yang dipercayai sebagai hasil karya para cendekiawan yang hidup pada masa Perang Negara (475 - 221 SM), dan dalam kedudukan filsafat dapat ditafsirkan sebagai suatu karya yang berusaha mencerminkan prinsip keberadaan alam semesta, sehingga karya ini dapat dianggap mengandung nilai sejarah filsafat China yang tinggi.
Bagaimanapun para sarjana modern merasa terusik atas keberadaan I Cing dalam kumpulan klasik ajaran Confucius dengan alasan Confucius selalu berusaha menghindari membicarakan sesuatu yang bersifat esoterik.
Hal ini dapat dimengerti karena para pengikut Confucius pada masa dinasti Han (sekitar abad ke-2 SM) yang sangat terpengaruh oleh praktek Taois mengenai kekekalan, telah melakukan penyesuaian penggunaan I Cing dengan menambahkan beberapa komentar sesuai ajaran Confucius.
Selanjutnya mereka memasukkan I Cing sebagai bagian dari Wu Cing.
Read more
Dewa, Mitos, Legenda: Legenda Sin Cia (Xinnian/Chun Jie)
Posted on Saturday, January 28 @ 23:09:23 PST by xtnv
Konon di zaman dahulu kalah hidup seekor monster bernama nian (年) (*1) monster tersebut bertanduk tunggal, bermata besar dan berkuku tajam. Monster tersebut bertempat tinggal di dalam lautan, sepanjang tahun dia habiskan waktunya untuk tidur (seperti tidur musim dingin pada beruang). Namun setiap musim semi dia akan bangun dari tidurnya untuk mencari makanan. Makanan kesukaan monster nian tersebut adalah manusia. Bukan hanya memburuh manusia, monster tersebut juga memporak-porandakan ladang penduduk dan merusak panen.
Karena adanya monster tersebut yang memburu manusia setiap musim semi, maka penduduk selalu mengungsi ke dataran tinggi pada awal musim semi. Para penduduk selalu menyiapkan bekal makanan (*2) selama di pengungsian mereka, dan karena tidak ada yang tau bagaimana nasib besok mereka dituntut untuk menyelesaikan hutang piutang sebelum mengungsi (*3). Demikian juga para anak akan melakukan ronda selama orang tua mereka tidur (*4). Tidak lupa mereka diwajibkan untuk berkumpul (*5) bersama-sama dalam keluarga supaya bisa saling menjaga.
Keadaan tersebut berlangsung cukup lama, hingga suatu musim semi. Seorang pengemis (*6) melewati desa tersebut untuk meminta makanan, ia mendapatkan desa dalam keadaan kosong. Ia berjalan menelusuri desa tersebut untuk mencari orang yang bisa diminta sekaligus mencari tahu menyebab hilangnya penduduk desa tersebut. Akhirnya dia menemukan seorang nenek dan menanyakan penyebab lenyapnya warga desa. Sang nenek lalu menjelaskan soal monster nian dan pengungsian penduduk.
Sang nenek yang baik hati lalu memberikan makanan kepada si pengemis. Pengemis itu lalu bertanya, kenapa nenek tidak ikut mengungsi ?. Anak dan cucu saya telah menjadi korban tahun lalu, saya sudah tua sulit ikut mengungsi, jika monster nian datang saya akan melawan sebisa saya. Si pengemis menjadi iba pada sang nenek, lalu mengatakan pada sang nenek bahwa sesungguhnya mahluk tersebut takut pada tiga hal yaitu: Mahluk yang lebih besar dan seram daripada dia (*7), suara keras dan bising (*8) dan warna merah (*9). Lalu si pengemis meminta sang nenek menyediakan kain besar untuk membuat binatang-binatangan dan mencat depan rumah menjadi merah serta berpakain merah, lalu dia mengumpulkan batang-batang bambu supaya menimbulkan suara ledakan saat dibakar.
Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya monster nian muncul si pengemis bergegas memakai kain yang telah dibuat menyerupai binatang monster serta minta sang nenek membakar batang bambu yang sudah disediakan serta memukul benda apa saja yang bisa menimbulkan suara bising. Mendapatkan sambutan demikian monster nian sangat kaget lalu terbang menuju khayangan dan tidak pernah kembali lagi.
Atas peristiwa kemenagan ini, penduduk desa merayakannya setiap tahun sebagai hari raya besar serta perayaan panen.Perayaan diadakan dengan cara meniru apa yang telah dilakukan oleh si pengemis dan sang nenek, juga sebagai tindakan pencegahan akan kembalinya monster nian. Para penduduk mendatangi rumah-rumah kerabat untuk mengucapkan selamat atas terbebasnya mereka dari ancaman monster nian. Sebagai balasan, setiap keluarga menyediakan minuman, kue-kuean untuk tamu mereka, mereka juga menyediakan permen bagi anak-anak dan kertas merah (*10) bagi mereka. Demikianlah perayaan tersebut turun temurun hingga kini.
===================================================
*1 : kata "nian" kemudian menjadi penanda waktu satu tahun
*2 : sebagai tradisi, orang selalu memenuhi gentong beras dan air juga penyediaan makanan lainnya.
*3 : tradisi membayar utang sebelum sin cia (tradisi ini sudah memudar sesuai jaman)
*4 : shou yue (守夜), begadang. biasanya main mahjong atau ngobrol sampai pagi
*5 : tuan yuan (团圆), tradisi kumpul atau tradisi mudik bagi yang merantau
*6 : konon diyakinin sebagai jelmaan dewa
*7 : Asal usul barongsai/tarian singa (舞狮) dan kemudian disusul tarian naga (舞龙)
*8 : Genderang dan petasan
*9 : Warna favorite pada hari sin cia, juga tempelan tulisan sanjak berpasangan dipintu (对联)
*10: Sekarang umum disebut angpao (红包)
Selain tradisi diatas masih ada banyak tradisi simbolik antara lain:
- Makan Ikan : Yu (ikan) yang berbunyi sama dengan Yu (Saldo), melambangkan saldo melimpah
- Makan daun bawang : Shuan (bawang putih) sama bunyinya dengan shuan (hitung/menghitung), melambangkan ada uang yang dihitung setiap tahun
- Kue China/Kue Keranjang : Nian Gao, gao (kue) mempunyai bunyi yang sama dengan gao (tinggi), melambangkan peningkatan kualitas hidup setiap tahun
- Segala manisan: melambangkan kehidupan yang manis
- Jeruk/Jeruk besar: Ju (jeruk mandarin) mempunyai bunyi yang sama dengan ju (segala yang positif/baik, antara lain: sehat, aman, tenteram)
dan tradisi-tradisi simbolik lainnya yang sangat banyak sesuai daerah dan suku masing-masing.
----------------------------------------
Dikumpulkan dari berbagai sumber, dari kisah2 yang didengar semasa kecil, dari TV dan cerita-cerita orang tua Read more
Konon di zaman dahulu kalah hidup seekor monster bernama nian (年) (*1) monster tersebut bertanduk tunggal, bermata besar dan berkuku tajam. Monster tersebut bertempat tinggal di dalam lautan, sepanjang tahun dia habiskan waktunya untuk tidur (seperti tidur musim dingin pada beruang). Namun setiap musim semi dia akan bangun dari tidurnya untuk mencari makanan. Makanan kesukaan monster nian tersebut adalah manusia. Bukan hanya memburuh manusia, monster tersebut juga memporak-porandakan ladang penduduk dan merusak panen.
Karena adanya monster tersebut yang memburu manusia setiap musim semi, maka penduduk selalu mengungsi ke dataran tinggi pada awal musim semi. Para penduduk selalu menyiapkan bekal makanan (*2) selama di pengungsian mereka, dan karena tidak ada yang tau bagaimana nasib besok mereka dituntut untuk menyelesaikan hutang piutang sebelum mengungsi (*3). Demikian juga para anak akan melakukan ronda selama orang tua mereka tidur (*4). Tidak lupa mereka diwajibkan untuk berkumpul (*5) bersama-sama dalam keluarga supaya bisa saling menjaga.
Keadaan tersebut berlangsung cukup lama, hingga suatu musim semi. Seorang pengemis (*6) melewati desa tersebut untuk meminta makanan, ia mendapatkan desa dalam keadaan kosong. Ia berjalan menelusuri desa tersebut untuk mencari orang yang bisa diminta sekaligus mencari tahu menyebab hilangnya penduduk desa tersebut. Akhirnya dia menemukan seorang nenek dan menanyakan penyebab lenyapnya warga desa. Sang nenek lalu menjelaskan soal monster nian dan pengungsian penduduk.
Sang nenek yang baik hati lalu memberikan makanan kepada si pengemis. Pengemis itu lalu bertanya, kenapa nenek tidak ikut mengungsi ?. Anak dan cucu saya telah menjadi korban tahun lalu, saya sudah tua sulit ikut mengungsi, jika monster nian datang saya akan melawan sebisa saya. Si pengemis menjadi iba pada sang nenek, lalu mengatakan pada sang nenek bahwa sesungguhnya mahluk tersebut takut pada tiga hal yaitu: Mahluk yang lebih besar dan seram daripada dia (*7), suara keras dan bising (*8) dan warna merah (*9). Lalu si pengemis meminta sang nenek menyediakan kain besar untuk membuat binatang-binatangan dan mencat depan rumah menjadi merah serta berpakain merah, lalu dia mengumpulkan batang-batang bambu supaya menimbulkan suara ledakan saat dibakar.
Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya monster nian muncul si pengemis bergegas memakai kain yang telah dibuat menyerupai binatang monster serta minta sang nenek membakar batang bambu yang sudah disediakan serta memukul benda apa saja yang bisa menimbulkan suara bising. Mendapatkan sambutan demikian monster nian sangat kaget lalu terbang menuju khayangan dan tidak pernah kembali lagi.
Atas peristiwa kemenagan ini, penduduk desa merayakannya setiap tahun sebagai hari raya besar serta perayaan panen.Perayaan diadakan dengan cara meniru apa yang telah dilakukan oleh si pengemis dan sang nenek, juga sebagai tindakan pencegahan akan kembalinya monster nian. Para penduduk mendatangi rumah-rumah kerabat untuk mengucapkan selamat atas terbebasnya mereka dari ancaman monster nian. Sebagai balasan, setiap keluarga menyediakan minuman, kue-kuean untuk tamu mereka, mereka juga menyediakan permen bagi anak-anak dan kertas merah (*10) bagi mereka. Demikianlah perayaan tersebut turun temurun hingga kini.
===================================================
*1 : kata "nian" kemudian menjadi penanda waktu satu tahun
*2 : sebagai tradisi, orang selalu memenuhi gentong beras dan air juga penyediaan makanan lainnya.
*3 : tradisi membayar utang sebelum sin cia (tradisi ini sudah memudar sesuai jaman)
*4 : shou yue (守夜), begadang. biasanya main mahjong atau ngobrol sampai pagi
*5 : tuan yuan (团圆), tradisi kumpul atau tradisi mudik bagi yang merantau
*6 : konon diyakinin sebagai jelmaan dewa
*7 : Asal usul barongsai/tarian singa (舞狮) dan kemudian disusul tarian naga (舞龙)
*8 : Genderang dan petasan
*9 : Warna favorite pada hari sin cia, juga tempelan tulisan sanjak berpasangan dipintu (对联)
*10: Sekarang umum disebut angpao (红包)
Selain tradisi diatas masih ada banyak tradisi simbolik antara lain:
- Makan Ikan : Yu (ikan) yang berbunyi sama dengan Yu (Saldo), melambangkan saldo melimpah
- Makan daun bawang : Shuan (bawang putih) sama bunyinya dengan shuan (hitung/menghitung), melambangkan ada uang yang dihitung setiap tahun
- Kue China/Kue Keranjang : Nian Gao, gao (kue) mempunyai bunyi yang sama dengan gao (tinggi), melambangkan peningkatan kualitas hidup setiap tahun
- Segala manisan: melambangkan kehidupan yang manis
- Jeruk/Jeruk besar: Ju (jeruk mandarin) mempunyai bunyi yang sama dengan ju (segala yang positif/baik, antara lain: sehat, aman, tenteram)
dan tradisi-tradisi simbolik lainnya yang sangat banyak sesuai daerah dan suku masing-masing.
----------------------------------------
Dikumpulkan dari berbagai sumber, dari kisah2 yang didengar semasa kecil, dari TV dan cerita-cerita orang tua Read more
Adat & Tradisi: Fu lu sou + tradisi dlm imlek (bagian 3 Shou)
Posted on Tuesday, September 27 @ 23:47:42 PDT by xuan-tong
Bintang Shou mungkin merupakan bintang yang paling sering kita lihat di gambar-gambar maupun bingkisan-bingkisan ulangtahun serta produk kesehatan.
Sesungguhnya bintang Shou juga merupakan salah satu object pemujaan pada jaman kuno dan dimanusiakan dengan berbagai macam kisah. Dan banyak orang jaman sekarang yang mengenalnya dengan sebutan Nan Ji Xian Weng 南極仙翁 atau Nan Ji Lao Ren 南極老人.
Shou Xing ini sebenarnya bintang Jiao 角 dan Keng 亢dari 28 rasi bintang yang berposisi di timur atau Qing Long 青龍.
Dalam hal ini 28 rasi dibagi menjadi 4 arah yaitu timur, utara, barat dan selatan.
Pada jaman lampau bintang ini dipercaya mempengaruhi kondisi suatu negara. Jika bintang Shou atau Lao Ren Xing tidak muncul maka peperangan akan timbul dan jika timbul maka ketertiban timbul.
Pada masa dinasti Zhou dan Qin upacara terhadap Shou Xing merupakan hal yang dilakukan kerajaan.
Pada masa dinasti Han Timur upacara Shou Xing dan penghormatan kepada kaum manula dilebur menjadi satu dimana upacara itu dilakukan di Lao Ren Miao ( bio orang tua) ibukota kerajaan pada bulan 8. Biasanya pada bulan itu juga semua yang telah berumur 70 tahun diberi Tongkat Raja 王杖 dan disuapi bubur penghormatan 糜粥 sedangkan
mereka yang berumur 80 keatas selain diberi penghormatan juga diberi hadiah lain.
Kebiasaan ini sampai sekarang berlanjut dengan memberikan hadiah yang berbentuk Shou Xing pada saat orang tua ulang tahun.
Walau dinasti Zhou dan Qin jatuh tapi upacara resmi kerajaan kepada Shou Xing tidak berhenti begitu saja hingga dinasti Ming.
Walau dinasti Ming menghentikan upacara tapi Shou Xing tidak lenyap dikalangan rakyat jelata. Kisah-kisah Shou Xing berkembang terus.
Misalnya dalam kisah Siluman Ular Putih dan Sun GoKong.
Read more
Bintang Shou mungkin merupakan bintang yang paling sering kita lihat di gambar-gambar maupun bingkisan-bingkisan ulangtahun serta produk kesehatan.
Sesungguhnya bintang Shou juga merupakan salah satu object pemujaan pada jaman kuno dan dimanusiakan dengan berbagai macam kisah. Dan banyak orang jaman sekarang yang mengenalnya dengan sebutan Nan Ji Xian Weng 南極仙翁 atau Nan Ji Lao Ren 南極老人.
Shou Xing ini sebenarnya bintang Jiao 角 dan Keng 亢dari 28 rasi bintang yang berposisi di timur atau Qing Long 青龍.
Dalam hal ini 28 rasi dibagi menjadi 4 arah yaitu timur, utara, barat dan selatan.
Pada jaman lampau bintang ini dipercaya mempengaruhi kondisi suatu negara. Jika bintang Shou atau Lao Ren Xing tidak muncul maka peperangan akan timbul dan jika timbul maka ketertiban timbul.
Pada masa dinasti Zhou dan Qin upacara terhadap Shou Xing merupakan hal yang dilakukan kerajaan.
Pada masa dinasti Han Timur upacara Shou Xing dan penghormatan kepada kaum manula dilebur menjadi satu dimana upacara itu dilakukan di Lao Ren Miao ( bio orang tua) ibukota kerajaan pada bulan 8. Biasanya pada bulan itu juga semua yang telah berumur 70 tahun diberi Tongkat Raja 王杖 dan disuapi bubur penghormatan 糜粥 sedangkan
mereka yang berumur 80 keatas selain diberi penghormatan juga diberi hadiah lain.
Kebiasaan ini sampai sekarang berlanjut dengan memberikan hadiah yang berbentuk Shou Xing pada saat orang tua ulang tahun.
Walau dinasti Zhou dan Qin jatuh tapi upacara resmi kerajaan kepada Shou Xing tidak berhenti begitu saja hingga dinasti Ming.
Walau dinasti Ming menghentikan upacara tapi Shou Xing tidak lenyap dikalangan rakyat jelata. Kisah-kisah Shou Xing berkembang terus.
Misalnya dalam kisah Siluman Ular Putih dan Sun GoKong.
Read more
Adat & Tradisi: Fu lu sou + tradisi dalam imlek (bagian 2 Lu)
Posted on Tuesday, September 27 @ 23:40:17 PDT by xuan-tong
Melanjutkan tulisan sebelumnya. Disini saya membahas bintang Lu.
Bintang Lu sebenarnya merupakan penyembahan terhadap bintang pada jaman purbakala. Dimana bintang ke 6 dari rasi Wen Chang(berada diutara) adalah Si Lu 司 祿 (Shi Ji 史記). Kemudian bintang SiLu perlahan-lahan dimanusiakan.
Lu Xing terkadang digambarkan sedang membawa anak sebenarnya menggambarkan Zhang Xian(cat:xian disini bisa diartikan dewa, tapi saya menuliskan xian untuk membedakan dengan istilah shen) memberi anak 張仙送子 yang sering dilukiskan sedang menggendong atau menuntun anak kecil.
Dan kadang pada gambar Fu Lu Shou sering ada gambar rusa yang mana hal ini berkaitan bunyi yaitu Lu (rusa) sama dengan Lu (pangkat). Terimakasih atas koreksi sdr.Zhou , memang saya ada salah persepsi mengenai FU LU SHOU ini.
Cerita rakyat yang berkaitan dengan Zhang Xian adalah konon pada masa dinasti Tang perdana mentri Lou ShiDe sakit-sakitan pada masa mudanya. Pada suatu hari ada tosu/daoshi yang memberi tahu bahwa dirinya terkena penyakit berat dan jika dalam tiga hari tidak bertemu dengan tuan penolong maka ia akan mati. Lou yang memang sudah sakit-sakitan pasrah saja dan hingga hari ke 3 ia melihat ada orang yang berbaju ungu yang membawa busur dan mengarahkan busurnya kearah Lou. Lou sendiri sudah pasrah dan
memejamkan mata menunggu ajal. Ternyata setelah menunggu beberapa lama ia tidak merasa apa-apa bahkan tubuh terasa sehat. Ketika ia membuka matanya , ia menyadari bahwa dirinya telah sehat.Lou baru mengetahui ia bertemu dengan tuan penolong segera berlutut dan bertanya nama tuan penolongnya. Orang yang berbaju biru hanya
menjawab ,"Lu Shen Zhang Xian". Kemudian ia diajak ke tempat Zhang Xian dan disana ia melihat ada 1 buku yang ketika ia buka ternyata mencatat perjalanan hidupnya yang menceritakan ia meninggal pada umur 85, mendapat jabatan tinggi. Ketika ia melihat ada nama saudaranya dan hendak membacanya, tiba-tiba dari luar rumah batu masuk seekor binatang buas yang tangannya memegang tombak Wan Hua Da Ge (seperti
tombak Xue Ren Gui) dan berteriak, "Lou kurangajar berani-beraninya membuka catatan LU (pangkat)". Seketika Lou tersadar dan ia baru tahu bahwa dirinya bermimpi. Kemudian terbukti bahwa Lou memang menjadi pejabat tinggi sesuai dengan mimpinya.
Catatan lain mengenai Zhang Xian membicarakan bahwa sesungguhnya Zhang Xian adalah seorang tosu/daoshi yang bernama Zhang YuanXiao 張遠 霄 yang pada masa 5 dinasti(907-906) mencapai Tao di gunung QingCheng 青城山Si Chuan 四川
Pangkat dan kekayaan dalam sejarah sering digunakan untuk memancing orang-orang terpelajar untuk bisa digunakan oleh penguasa. Karena itu ada istilah Lu Er 祿 餌 yang digambarkan bahwa kekayaan menjadi pejabat adalah umpan pancingan.
Chen ZhongWei 陳仲微 seorang pemikir pada masa dinasti Song mengatakan bahwa umpan kekayaan dan martabat pejabat hanya bisa mengundang orang-orang terpelajar kelas menengah tapi tidak bisa mengundang orang-orang hebat.
Walau demikian rakyat jelata berpandangan realistis dan pemikiran bahwa menjadi pejabat memiliki kekuasaan dan kekuasaan itu mengundang harta. Sehingga posisi Lu Shen atau Lu Xing tetap bercokol dihati rakyat jelata.
Read more
Melanjutkan tulisan sebelumnya. Disini saya membahas bintang Lu.
Bintang Lu sebenarnya merupakan penyembahan terhadap bintang pada jaman purbakala. Dimana bintang ke 6 dari rasi Wen Chang(berada diutara) adalah Si Lu 司 祿 (Shi Ji 史記). Kemudian bintang SiLu perlahan-lahan dimanusiakan.
Lu Xing terkadang digambarkan sedang membawa anak sebenarnya menggambarkan Zhang Xian(cat:xian disini bisa diartikan dewa, tapi saya menuliskan xian untuk membedakan dengan istilah shen) memberi anak 張仙送子 yang sering dilukiskan sedang menggendong atau menuntun anak kecil.
Dan kadang pada gambar Fu Lu Shou sering ada gambar rusa yang mana hal ini berkaitan bunyi yaitu Lu (rusa) sama dengan Lu (pangkat). Terimakasih atas koreksi sdr.Zhou , memang saya ada salah persepsi mengenai FU LU SHOU ini.
Cerita rakyat yang berkaitan dengan Zhang Xian adalah konon pada masa dinasti Tang perdana mentri Lou ShiDe sakit-sakitan pada masa mudanya. Pada suatu hari ada tosu/daoshi yang memberi tahu bahwa dirinya terkena penyakit berat dan jika dalam tiga hari tidak bertemu dengan tuan penolong maka ia akan mati. Lou yang memang sudah sakit-sakitan pasrah saja dan hingga hari ke 3 ia melihat ada orang yang berbaju ungu yang membawa busur dan mengarahkan busurnya kearah Lou. Lou sendiri sudah pasrah dan
memejamkan mata menunggu ajal. Ternyata setelah menunggu beberapa lama ia tidak merasa apa-apa bahkan tubuh terasa sehat. Ketika ia membuka matanya , ia menyadari bahwa dirinya telah sehat.Lou baru mengetahui ia bertemu dengan tuan penolong segera berlutut dan bertanya nama tuan penolongnya. Orang yang berbaju biru hanya
menjawab ,"Lu Shen Zhang Xian". Kemudian ia diajak ke tempat Zhang Xian dan disana ia melihat ada 1 buku yang ketika ia buka ternyata mencatat perjalanan hidupnya yang menceritakan ia meninggal pada umur 85, mendapat jabatan tinggi. Ketika ia melihat ada nama saudaranya dan hendak membacanya, tiba-tiba dari luar rumah batu masuk seekor binatang buas yang tangannya memegang tombak Wan Hua Da Ge (seperti
tombak Xue Ren Gui) dan berteriak, "Lou kurangajar berani-beraninya membuka catatan LU (pangkat)". Seketika Lou tersadar dan ia baru tahu bahwa dirinya bermimpi. Kemudian terbukti bahwa Lou memang menjadi pejabat tinggi sesuai dengan mimpinya.
Catatan lain mengenai Zhang Xian membicarakan bahwa sesungguhnya Zhang Xian adalah seorang tosu/daoshi yang bernama Zhang YuanXiao 張遠 霄 yang pada masa 5 dinasti(907-906) mencapai Tao di gunung QingCheng 青城山Si Chuan 四川
Pangkat dan kekayaan dalam sejarah sering digunakan untuk memancing orang-orang terpelajar untuk bisa digunakan oleh penguasa. Karena itu ada istilah Lu Er 祿 餌 yang digambarkan bahwa kekayaan menjadi pejabat adalah umpan pancingan.
Chen ZhongWei 陳仲微 seorang pemikir pada masa dinasti Song mengatakan bahwa umpan kekayaan dan martabat pejabat hanya bisa mengundang orang-orang terpelajar kelas menengah tapi tidak bisa mengundang orang-orang hebat.
Walau demikian rakyat jelata berpandangan realistis dan pemikiran bahwa menjadi pejabat memiliki kekuasaan dan kekuasaan itu mengundang harta. Sehingga posisi Lu Shen atau Lu Xing tetap bercokol dihati rakyat jelata.
Read more
Adat & Tradisi: Fu lu sou + tradisi dalam imlek (bagian 1 FU)
Posted on Tuesday, September 27 @ 23:35:56 PDT by xuan-tong
Fu Xing sebenarnya pada jaman lampau sering juga disebut Sui Xing 歲 星 dan dipercaya bahwa Sui Xing bisa memberikan rejeki.
Kemudian orang-orang mengadakan perubahan dari nama bintang menjadi manusia. Yang paling terkenal adalah Fu Shen Tian Guan 福 神 天 官 dan Yang Cheng 楊 成.
Kepercayaan Tian Guan berasal dari Taoism Wu Dou Mi Dao (aliran 5 gantang beras), dimana aliran tersebut menggunakan cara mempersembahkan arak dan membuat surat permohonan agar orang yang sakit bisa sembuh dan panjang umur.
Mempersembahkan arak dan menulis 3 surat permohonan kepada San Guan Da Di 三官大帝. San Guan Da Di dipercaya bisa memberikan rejeki, menghapus akibat perbuatan buruk/kesalahan dan menghapuskan/menghindarkan bencana.
Dari sini rakyat kebanyakan beranggapan Tian Guan sebagai Fu Shen (dewa rejeki).
Pada masa dinasti Qing,kepercayaan kepada Tian Guan menjadi begitu populer dan banyak tulisan atau gambar-gambar Tian Guan Ci Fu 天官賜 福 yang bisa dilihat pada menjelang tahun baru imlek.
Yang Cheng sebagai Fu Shen, sebenarnya orang yang bernama Yang Cheng ini memang ada. Hanya saja bukan Yang Cheng 楊成 yang ini tapi 陽 城 (cat:ini memang nama orang bukan nama kota).
Ketika kaisar Tang DeZong 唐 德宗 pada tahun 795 mendapat hasutan dari Pei YanLing 裴延齡 untuk menghukum mati jendral setia Lu Zhi 陸 贄. Tapi diantara sekian pejabat hanya YangCheng yang berani mencegahny sehingga Lu Zhi tidak dihukum mati. Tapi ketika usulan Yang untuk mencopot jabatan Pei itu tidak diindahkan sehingga Yang
mengundurkan diri. Kisah diatas merupakan cuplikan dari Tang Shi Yan Yi 唐史演義.
Masalah yang berkaitan antara YAng Cheng dengan Dewa Rejeki (cat: Fu Shen, bukan Cai Shen) adalah kebiasaan dinasti Tang pada masa itu untuk mengambil orang-orang kerdil ke istana untuk dijadikan badut atau budak. Orang-orang kerdil itu diambil dari wilayah Dao,dimana setiap rumah harus mengirimkan pria sebagai budak. Yang Cheng yang mendapat tugas untuk mengambil para budak kerdil itu merasa bahwa tindakan ini tidak berperikemanusiaan dan menghentikan kebiasaan itu. Untuk mengenang Yang Cheng yang tidak takut kehilangan jabatan, membela mereka yang ditindas maka penduduk wilayah Dao mendirikan Ci atau rumah peringatan (cat:sering disebut rumah abu) dan menyebut Yang Cheng sebagai Fu Shen. Selain hal diatas, agar keturunan penduduk wilayah Dao tidak melupakan jasa Yang Cheng, maka semua anak pria di wilayah Dao menggunakan Yang sebagai nama mereka. Bai JuYi seorang sastrawan juga menuliskan kejadian itu dalam bentuk syairnya. Hal ini tercatat dalam Jiu Tang Shu maupun Xin Tang Shu.
Dalam catatan Shou Shen Ji ada satu cerita tersendiri dengan nama yang mirip tapi karakter tulisan yang berbeda (cat: 楊 成) dan jaman yang berbeda.
Pada kisah itu dituliskan pada masa dinasti Han, kaisar Han WuDi amat suka dengan orang kerdil yang dijadikan badut penghibur dan budak di istana.
Yang Cheng sebagai pejabat wilayah Dao menghadap kaisar Han WuDi dan mengatakan ," Hamba berdasarkan 5 kitab , di wilayah hamba memang ada penduduk kerdil tapi tidak ada budak kerdil." Kaisar Han WuDi menjadi sadar dan rakyat wilayah Dao untuk mengenang jasanya mendirikan Ci dan menyebutnya sebagai Fu Shen.
hormat saya,
Xuan Tong Read more
Fu Xing sebenarnya pada jaman lampau sering juga disebut Sui Xing 歲 星 dan dipercaya bahwa Sui Xing bisa memberikan rejeki.
Kemudian orang-orang mengadakan perubahan dari nama bintang menjadi manusia. Yang paling terkenal adalah Fu Shen Tian Guan 福 神 天 官 dan Yang Cheng 楊 成.
Kepercayaan Tian Guan berasal dari Taoism Wu Dou Mi Dao (aliran 5 gantang beras), dimana aliran tersebut menggunakan cara mempersembahkan arak dan membuat surat permohonan agar orang yang sakit bisa sembuh dan panjang umur.
Mempersembahkan arak dan menulis 3 surat permohonan kepada San Guan Da Di 三官大帝. San Guan Da Di dipercaya bisa memberikan rejeki, menghapus akibat perbuatan buruk/kesalahan dan menghapuskan/menghindarkan bencana.
Dari sini rakyat kebanyakan beranggapan Tian Guan sebagai Fu Shen (dewa rejeki).
Pada masa dinasti Qing,kepercayaan kepada Tian Guan menjadi begitu populer dan banyak tulisan atau gambar-gambar Tian Guan Ci Fu 天官賜 福 yang bisa dilihat pada menjelang tahun baru imlek.
Yang Cheng sebagai Fu Shen, sebenarnya orang yang bernama Yang Cheng ini memang ada. Hanya saja bukan Yang Cheng 楊成 yang ini tapi 陽 城 (cat:ini memang nama orang bukan nama kota).
Ketika kaisar Tang DeZong 唐 德宗 pada tahun 795 mendapat hasutan dari Pei YanLing 裴延齡 untuk menghukum mati jendral setia Lu Zhi 陸 贄. Tapi diantara sekian pejabat hanya YangCheng yang berani mencegahny sehingga Lu Zhi tidak dihukum mati. Tapi ketika usulan Yang untuk mencopot jabatan Pei itu tidak diindahkan sehingga Yang
mengundurkan diri. Kisah diatas merupakan cuplikan dari Tang Shi Yan Yi 唐史演義.
Masalah yang berkaitan antara YAng Cheng dengan Dewa Rejeki (cat: Fu Shen, bukan Cai Shen) adalah kebiasaan dinasti Tang pada masa itu untuk mengambil orang-orang kerdil ke istana untuk dijadikan badut atau budak. Orang-orang kerdil itu diambil dari wilayah Dao,dimana setiap rumah harus mengirimkan pria sebagai budak. Yang Cheng yang mendapat tugas untuk mengambil para budak kerdil itu merasa bahwa tindakan ini tidak berperikemanusiaan dan menghentikan kebiasaan itu. Untuk mengenang Yang Cheng yang tidak takut kehilangan jabatan, membela mereka yang ditindas maka penduduk wilayah Dao mendirikan Ci atau rumah peringatan (cat:sering disebut rumah abu) dan menyebut Yang Cheng sebagai Fu Shen. Selain hal diatas, agar keturunan penduduk wilayah Dao tidak melupakan jasa Yang Cheng, maka semua anak pria di wilayah Dao menggunakan Yang sebagai nama mereka. Bai JuYi seorang sastrawan juga menuliskan kejadian itu dalam bentuk syairnya. Hal ini tercatat dalam Jiu Tang Shu maupun Xin Tang Shu.
Dalam catatan Shou Shen Ji ada satu cerita tersendiri dengan nama yang mirip tapi karakter tulisan yang berbeda (cat: 楊 成) dan jaman yang berbeda.
Pada kisah itu dituliskan pada masa dinasti Han, kaisar Han WuDi amat suka dengan orang kerdil yang dijadikan badut penghibur dan budak di istana.
Yang Cheng sebagai pejabat wilayah Dao menghadap kaisar Han WuDi dan mengatakan ," Hamba berdasarkan 5 kitab , di wilayah hamba memang ada penduduk kerdil tapi tidak ada budak kerdil." Kaisar Han WuDi menjadi sadar dan rakyat wilayah Dao untuk mengenang jasanya mendirikan Ci dan menyebutnya sebagai Fu Shen.
hormat saya,
Xuan Tong Read more
Adat & Tradisi: Apa dan Mengapa Seputar Imlek
Posted on Saturday, October 02 @ 13:26:59 PDT by xuan-tong
Adat Istiadat & Tradisi: Apa itu dewa dapur dan mengapa harus mengantarnya?
Dewa dapur itu adalah dewa kuno bahkan sejak dinasti Xia sudah ada penyembahan terhadapNya. Kitab klasik Li Ji sudah mencatat bahwa dewa dapur atau Zhao Jun itu adalah Zu Rong.
Kitab2 lainnya adalah kitab Zhuang Zi bab Da Sheng menulis "Zhao You Ji" dan dijelaskan secara spesifik oleh Sima Biao bahwa " Ji itu adalah Zhao Shen (zhao Jun ) mengenakan jubah merah serta cantik". Kitab Bao Pu Zi juga menjelaskan masalah Zhao Jun ini bahwa Zhao Jun mencatat perbuatan2 manusia.
Dewa dapur merupakan dewa utama dari 5 dewa rumah, dewa rumah itu adalah sbb: dewa sumur, dewa tiongcit, dewa pintu dan dewa kamar mandi. Dinasti Qing mengenal istilah 3 Zun dan 6 shen dimana 3 zun itu adalah Guan Yin dan 2 pengiringNya (Jin Tong Yu Nu) serta 5 dewa rumah, dimana dewa pintu itu ada 2(sepasang).
Kebiasaan membersihkan rumah pada tanggal 23 dan 24 itu adalah berasal dari legenda bahwa jaman dahulu itu manusia memiliki dewa yang disebut san shi shen yang mengikuti manusia bagaikan bayangan. Dewa ini adalah dewa yang reseh serta suka mengadu yang tidak2 kepada Yu Di. Lama kelamaan image manusia di mata Yu Di ini menjadi buruk. Suatu hari SanShi Shen ini mengadu kepada Yu Di bahwa manusia itu sukanya mengutuk Yu Di serta berencana melawan kekuasaan YuDi. Yu Di amat marah mendengar hal itu lantas membuat tanda sarang laba2 dirumah2 yang hendak dibantai. Dan memerintahkan Wang LingGuan utk membantai manusia pada tgl.30 dirumah2 yang ditandai dengan sarang
laba2 itu.
San ShiShen amat senang dan tidak pandang bulu semua rumah ditandai dengan sarang laba2. Zhao Jun mendengar hal ini amat sangat terkejut dan membuat suatu rencana bahwa pada tgl 23 hingga tgl 30 (hari menjemput Zhao Jun) semua rumah harus membersihkan dari segala macam kotoran dan semua rumah harus sudah bersih pada tgl.30. Jika tidak bersih pada tgl. 30 Zhao Jun tidak akan mau datang kerumah itu.
Hal ini dilaksanakan oleh semua manusia dan ketika tgl.30 Wang Ling Guan datang utk memeriksa amat terkejut melihat semua rumah bersih dan org2 bersembayang kepada para leluhur serta meminta perlindungan utk tahun depan, semoga tahun yang baru membawa harapan yang baru (Xin Nian Ru Yi).
Wang Ling Guan melaporkan hal ini kepada Yu Di, membuat Yu Di marah besar dan memeriksa San Shi Shen serta menggampar mulutnya sebanyak 300 kali dan menghukumnya di penjara langit selama2nya.
Kebiasaan membersihkan rumah ini menurut catatan kitab kuno Lu Si Cun Qiu sudah ada sejak jaman pemerintahan Yao dan Sun.
Kisah2 Zhao Jun mencatat perbuatan manusia juga sudah ada sejak lama.
Pada masa dinasti Ming dan Song kebiasaan mengantar Zhao Jun itu selalu disertai arak dan mengoleskan arak diseluruh rupang atau tulisan /papan dewa Zhao Jun. Dengan harapan Zhao Jun mabok dan tidak bisa melaporkan hal2 buruk manusia dengan baik.
Pada masa dinasti Ming dan Qing itu kebiasaan berubah menjadi menorehkan madu dan mempersembahkan yang manis2 kepada Zhao Jun.
Bbrp kisah menarik diantara kisah-2-nya adalah:
- pada masa dinasti Ming diceritakan bahwa ada satu pelajar yang hendak memperkosa pembantunya tapi untunglah si pembantu berhasil meloloskan diri. Pada saat kejadian itu istri si pelajar bermimpi ada 2 org yang sedang bercakap2, yang satu adalah Zhao Jun dan satunya adalah pembantunnya (Zhao Jun ada 2 pembantu yaitu Shan Guan dan E Guan). Pembantunya berkata ,"Org seperti ini perlukah kita putuskan garis keturunan atau memotong umurnya?" Zhao Jun berkata ,"Jgn dahulu, lebih baik kita lihat saja apakah org tersebut bisa menyesal atau tidak." Istri si pelajar kaget dan esoknya menceritakan mimpinya kepada suaminya.
Sang suami amat terkejut dan tidak menyangka perbuatan buruknya bisa dicatat oleh Zhao Jun. Seketika itu dirinya amat ketakutan dan insaf atas perbuatan buruknya, ia juga menikahkan pembantunnya dengan pasangan yang cocok. Sejak hari itu pula ia banyak berbuat baik dan berusaha menjauhi kejahatan.
Kemudian istrinya bermimpi lagi bertemu dengan Zhao Jun. Zhao Jun berkata, "Bersyukurlah suamimu tidak lagi melakukan perbuatan buruk serta banyak berbuat baik bahkan menikahkan pembantunya dengan pasangan yang cocok. Atas perbuatan baik ini Saya khusus melaporkan hal ini kepada Yu Di dan minta agar umur suamimu diiperpanjang."
- Kitab dinasti Han mencatat pada masa pemerintahan Xuan Di ada org bernama Yin ZhiFang melihat penampakan Zhao Jun. Yin adalah org yang miskin tapi baik hati.
Ketika itu Yin amat sangat kaget dan sujud. Saat itu pula ia memotong anjing peliharaannya untuk dipersembahkan pada Zhao Jun. Zhao Jun amat terharu dan memberi rejeki kepada Yin ZhiFang sehingga Yin menjadi org yang kaya raya tapi tetap baik hati dan rajin beramal serta rendah hati.
- Pada masa dinasti Qing upacara pengantaran Zhao Jun ke surga sudah amat umum bahkan cenderung berlebihan dan berbau menyogok Zhao Jun agar menceritakan hal2 yang baik saja. Zhao Jun diceritakan amat marah kepada satu keluarga yang berkelahi melulu, tidak akur sesama saudara, berlaku kejahatan, menyebar gosip2 yang tidak benar serta tidak mau berbuat baik, hobbynya menyogok para dewa.
Zhao Jun diceritakan menampakkan diri dan mengatakan, "Tidak perduli seberapa besar persembahanmu kepadaKu, tidak perduli berapa banyak hartamu, tidak perduli seberapa tinggi kedudukanmu. Hal2 itu tidak akan menggoyahkan diriKu utk mengatakan hal2 sebenarnya. Perbuatan2 baik dan menghindari perbuatan2 buruk itulah persembahan utkku. Jika kalian bisa berubah pada hari penyambutan diriKu , maka AKU akan
melindungi keluarga kalian."
Dari cerita2 diatas, bisa kita ambil hikmahnya bahwa upacara pengantaran Zhao Jun pada tgl 23-24 itu adalah upacara intropeksi diri kita dan pada tgl.30 upacara penyambutan Zhao Jun adalah upacara bagi diri kita agar bisa berbuat baik lebih banyak lagi. Persembahan sederhana tapi tulus lebih berharga daripada persembahan
mewah.
Membersihkan rumah, mencat dan memperbaiki rumah selama 6 hari adalah hal yang dapat dikatakan kita juga merawat rumah yang telah kita diami selama setahun itu.
Read more
Adat Istiadat & Tradisi: Apa itu dewa dapur dan mengapa harus mengantarnya?
Dewa dapur itu adalah dewa kuno bahkan sejak dinasti Xia sudah ada penyembahan terhadapNya. Kitab klasik Li Ji sudah mencatat bahwa dewa dapur atau Zhao Jun itu adalah Zu Rong.
Kitab2 lainnya adalah kitab Zhuang Zi bab Da Sheng menulis "Zhao You Ji" dan dijelaskan secara spesifik oleh Sima Biao bahwa " Ji itu adalah Zhao Shen (zhao Jun ) mengenakan jubah merah serta cantik". Kitab Bao Pu Zi juga menjelaskan masalah Zhao Jun ini bahwa Zhao Jun mencatat perbuatan2 manusia.
Dewa dapur merupakan dewa utama dari 5 dewa rumah, dewa rumah itu adalah sbb: dewa sumur, dewa tiongcit, dewa pintu dan dewa kamar mandi. Dinasti Qing mengenal istilah 3 Zun dan 6 shen dimana 3 zun itu adalah Guan Yin dan 2 pengiringNya (Jin Tong Yu Nu) serta 5 dewa rumah, dimana dewa pintu itu ada 2(sepasang).
Kebiasaan membersihkan rumah pada tanggal 23 dan 24 itu adalah berasal dari legenda bahwa jaman dahulu itu manusia memiliki dewa yang disebut san shi shen yang mengikuti manusia bagaikan bayangan. Dewa ini adalah dewa yang reseh serta suka mengadu yang tidak2 kepada Yu Di. Lama kelamaan image manusia di mata Yu Di ini menjadi buruk. Suatu hari SanShi Shen ini mengadu kepada Yu Di bahwa manusia itu sukanya mengutuk Yu Di serta berencana melawan kekuasaan YuDi. Yu Di amat marah mendengar hal itu lantas membuat tanda sarang laba2 dirumah2 yang hendak dibantai. Dan memerintahkan Wang LingGuan utk membantai manusia pada tgl.30 dirumah2 yang ditandai dengan sarang
laba2 itu.
San ShiShen amat senang dan tidak pandang bulu semua rumah ditandai dengan sarang laba2. Zhao Jun mendengar hal ini amat sangat terkejut dan membuat suatu rencana bahwa pada tgl 23 hingga tgl 30 (hari menjemput Zhao Jun) semua rumah harus membersihkan dari segala macam kotoran dan semua rumah harus sudah bersih pada tgl.30. Jika tidak bersih pada tgl. 30 Zhao Jun tidak akan mau datang kerumah itu.
Hal ini dilaksanakan oleh semua manusia dan ketika tgl.30 Wang Ling Guan datang utk memeriksa amat terkejut melihat semua rumah bersih dan org2 bersembayang kepada para leluhur serta meminta perlindungan utk tahun depan, semoga tahun yang baru membawa harapan yang baru (Xin Nian Ru Yi).
Wang Ling Guan melaporkan hal ini kepada Yu Di, membuat Yu Di marah besar dan memeriksa San Shi Shen serta menggampar mulutnya sebanyak 300 kali dan menghukumnya di penjara langit selama2nya.
Kebiasaan membersihkan rumah ini menurut catatan kitab kuno Lu Si Cun Qiu sudah ada sejak jaman pemerintahan Yao dan Sun.
Kisah2 Zhao Jun mencatat perbuatan manusia juga sudah ada sejak lama.
Pada masa dinasti Ming dan Song kebiasaan mengantar Zhao Jun itu selalu disertai arak dan mengoleskan arak diseluruh rupang atau tulisan /papan dewa Zhao Jun. Dengan harapan Zhao Jun mabok dan tidak bisa melaporkan hal2 buruk manusia dengan baik.
Pada masa dinasti Ming dan Qing itu kebiasaan berubah menjadi menorehkan madu dan mempersembahkan yang manis2 kepada Zhao Jun.
Bbrp kisah menarik diantara kisah-2-nya adalah:
- pada masa dinasti Ming diceritakan bahwa ada satu pelajar yang hendak memperkosa pembantunya tapi untunglah si pembantu berhasil meloloskan diri. Pada saat kejadian itu istri si pelajar bermimpi ada 2 org yang sedang bercakap2, yang satu adalah Zhao Jun dan satunya adalah pembantunnya (Zhao Jun ada 2 pembantu yaitu Shan Guan dan E Guan). Pembantunya berkata ,"Org seperti ini perlukah kita putuskan garis keturunan atau memotong umurnya?" Zhao Jun berkata ,"Jgn dahulu, lebih baik kita lihat saja apakah org tersebut bisa menyesal atau tidak." Istri si pelajar kaget dan esoknya menceritakan mimpinya kepada suaminya.
Sang suami amat terkejut dan tidak menyangka perbuatan buruknya bisa dicatat oleh Zhao Jun. Seketika itu dirinya amat ketakutan dan insaf atas perbuatan buruknya, ia juga menikahkan pembantunnya dengan pasangan yang cocok. Sejak hari itu pula ia banyak berbuat baik dan berusaha menjauhi kejahatan.
Kemudian istrinya bermimpi lagi bertemu dengan Zhao Jun. Zhao Jun berkata, "Bersyukurlah suamimu tidak lagi melakukan perbuatan buruk serta banyak berbuat baik bahkan menikahkan pembantunya dengan pasangan yang cocok. Atas perbuatan baik ini Saya khusus melaporkan hal ini kepada Yu Di dan minta agar umur suamimu diiperpanjang."
- Kitab dinasti Han mencatat pada masa pemerintahan Xuan Di ada org bernama Yin ZhiFang melihat penampakan Zhao Jun. Yin adalah org yang miskin tapi baik hati.
Ketika itu Yin amat sangat kaget dan sujud. Saat itu pula ia memotong anjing peliharaannya untuk dipersembahkan pada Zhao Jun. Zhao Jun amat terharu dan memberi rejeki kepada Yin ZhiFang sehingga Yin menjadi org yang kaya raya tapi tetap baik hati dan rajin beramal serta rendah hati.
- Pada masa dinasti Qing upacara pengantaran Zhao Jun ke surga sudah amat umum bahkan cenderung berlebihan dan berbau menyogok Zhao Jun agar menceritakan hal2 yang baik saja. Zhao Jun diceritakan amat marah kepada satu keluarga yang berkelahi melulu, tidak akur sesama saudara, berlaku kejahatan, menyebar gosip2 yang tidak benar serta tidak mau berbuat baik, hobbynya menyogok para dewa.
Zhao Jun diceritakan menampakkan diri dan mengatakan, "Tidak perduli seberapa besar persembahanmu kepadaKu, tidak perduli berapa banyak hartamu, tidak perduli seberapa tinggi kedudukanmu. Hal2 itu tidak akan menggoyahkan diriKu utk mengatakan hal2 sebenarnya. Perbuatan2 baik dan menghindari perbuatan2 buruk itulah persembahan utkku. Jika kalian bisa berubah pada hari penyambutan diriKu , maka AKU akan
melindungi keluarga kalian."
Dari cerita2 diatas, bisa kita ambil hikmahnya bahwa upacara pengantaran Zhao Jun pada tgl 23-24 itu adalah upacara intropeksi diri kita dan pada tgl.30 upacara penyambutan Zhao Jun adalah upacara bagi diri kita agar bisa berbuat baik lebih banyak lagi. Persembahan sederhana tapi tulus lebih berharga daripada persembahan
mewah.
Membersihkan rumah, mencat dan memperbaiki rumah selama 6 hari adalah hal yang dapat dikatakan kita juga merawat rumah yang telah kita diami selama setahun itu.
Read more
Sejarah Budaya Tionghoa: Ekonomi Dinasti Han
Sejarah & Budaya: Ekonomi dinasti Han (wu wei jing ji)
Posted on Tuesday, October 19 @ 03:05:33 PDT by xuan-tong
Sejak kejatuhan dinasti Qin dan berdirinya dinasti Han , ekonomi di China hancur lebur.
Walau dinasti Qin sejak reformasi yang dimotori oleh Shang Yang membawa kemajuan luar biasa disegala bidang , ternyata setelah penyatuan 6 negara dan pemberontakan petani yang pertama kali tercatat dalam sejarah Tiongkok membawa kehancuran dalam bidang ekonomi.
Pada masa awal dinasti Han tidak bisa dikatakan membentuk suatu pemerintahan terpusat yang dikontrol oleh pusat. Han GaoZhu Liu Bang pada saat hendak membangun ekonomi, meminta pendapat dari Lu Jia 陸賈. Lu Jia memberi saran yaitu pemerintah pusat tidak mengintervensi pertumbuhan ekonomi. Biarkan ekonomi berjalan tanpa intervensi pemerintah pusat, pola ekonomi ini disebut Wu Wei Jing Ji 無為 經 濟 (saya artikan ekonomi bebas).
Selain wu wei jing ji juga ada istilah wu wei er zhi 無 為 而 治 (catatan: saya artikan sistem pemerintahan yang tidak mencampuri).
Pola pemerintahan seperti ini memang memicu pertumbuhan ekonomi yang luar biasa pesatnya.
Bahkan dapat dikatakan pada masa itu para raja muda penguasa prefektur berlomba-lomba menggali potensi daerah masing-masing bahkan sampai membajak orang-orang yang berpotensi.
Ada 3 point keberhasilan ekonomi Wu Wei disini, yaitu :
1. memperkuat pondasi pembangunan ekonomi di seluruh negeri
2. kemudahan bagi daerah untuk mengembangkan regulasi yang berkaitan dengan kemampuan ekonomi daerah masing-masing dan memaksimalkan sumber daya alam
3. mempercepat pertumbuhan ekonomi di seluruh negeri.
Dengan kebijakan ekonomi seperti itu, para pedagang memiliki keleluasaan melakukan aktivitas perdagangan, produksi pertanian, industri logam, kerajian kayu, keramik, hasil laut, pertambangan (terutama perunggu) meningkat pesat. Perdagangan pun berjalan tanpa harus membuat laporan-laporan yang harus disampaikan kepada pemerintah pusat. Export berjalan dengan mudah dan lancar.
Kelancaran export ini bisa berjalan berkat kebijakan dinasti Qin yang selalu menempatkan rakyatnya didaerah-daerah baru terutama yang telah diduduki. Bahkan penempatan penduduk sudah sampai mendekati Xi Yi 西 域. Tentunya penempatan penduduk dinasti Qin lebih ditujukan untuk memantapkan kekuasaan dinasti Qin di wilayah-wilayah lain terutama yang telah dikuasainya. Dapat dikatakan pada masa dinasti Qin itulah terjadi migrasi yang diatur oleh pemerintah.
Sayangnya sistem ekonomi seperti ini tidak bisa berjalan lancar tanpa ada pemerintah pusat yang kuat dan sistem komando militer terpusat di tangan pemerintah pusat.
Kekayaan para raja muda yang disebabkan kebijakan ekonomi wu wei membuat pemerintah pusat mulai diacuhkan. Bahkan kekayaan raja muda Liu Bi 劉 濞 sudah menyamai kekayaan kaisar Han JingDi 漢 景 帝.
Chao cuo 晁 錯 merasakan bahaya integrasi dan mengusulkan agar mengubah sistem ekonomi Wu wei menjadi you wei jing ji 有 為 經 濟 (catatan: saya artikan ekonomi terkontrol).
Kebijakan ekonomi you wei ini walau belum sempat diterapkan telah memicu pemberontakan 7 raja muda 七 國 之 亂 dan mengakibatkan Chao Cuo dibunuh oleh Han JingDi karena ada hasutan bahwa pemberontakan itu disebabkan oleh Chao Cuo.
2 orang yang mempelopori You Wei JingJi pada masa Han barat 西漢 adalah Jia Yi 賈誼 dan Chao Cuo 晁錯.
Pada kesempatan lain , akan saya ulas sedikit mengenai ekonomi You Wei juga para pemikir pada masa Han yang membuat prinsip-prinsip ekonomi. Salah satunya adalah Sima Qian yang 司馬 遷 kita kenal dengan buku Catatan Sejarah 史 記.
hormat saya,
Xuan Tong
Read more
Posted on Tuesday, October 19 @ 03:05:33 PDT by xuan-tong
Sejak kejatuhan dinasti Qin dan berdirinya dinasti Han , ekonomi di China hancur lebur.
Walau dinasti Qin sejak reformasi yang dimotori oleh Shang Yang membawa kemajuan luar biasa disegala bidang , ternyata setelah penyatuan 6 negara dan pemberontakan petani yang pertama kali tercatat dalam sejarah Tiongkok membawa kehancuran dalam bidang ekonomi.
Pada masa awal dinasti Han tidak bisa dikatakan membentuk suatu pemerintahan terpusat yang dikontrol oleh pusat. Han GaoZhu Liu Bang pada saat hendak membangun ekonomi, meminta pendapat dari Lu Jia 陸賈. Lu Jia memberi saran yaitu pemerintah pusat tidak mengintervensi pertumbuhan ekonomi. Biarkan ekonomi berjalan tanpa intervensi pemerintah pusat, pola ekonomi ini disebut Wu Wei Jing Ji 無為 經 濟 (saya artikan ekonomi bebas).
Selain wu wei jing ji juga ada istilah wu wei er zhi 無 為 而 治 (catatan: saya artikan sistem pemerintahan yang tidak mencampuri).
Pola pemerintahan seperti ini memang memicu pertumbuhan ekonomi yang luar biasa pesatnya.
Bahkan dapat dikatakan pada masa itu para raja muda penguasa prefektur berlomba-lomba menggali potensi daerah masing-masing bahkan sampai membajak orang-orang yang berpotensi.
Ada 3 point keberhasilan ekonomi Wu Wei disini, yaitu :
1. memperkuat pondasi pembangunan ekonomi di seluruh negeri
2. kemudahan bagi daerah untuk mengembangkan regulasi yang berkaitan dengan kemampuan ekonomi daerah masing-masing dan memaksimalkan sumber daya alam
3. mempercepat pertumbuhan ekonomi di seluruh negeri.
Dengan kebijakan ekonomi seperti itu, para pedagang memiliki keleluasaan melakukan aktivitas perdagangan, produksi pertanian, industri logam, kerajian kayu, keramik, hasil laut, pertambangan (terutama perunggu) meningkat pesat. Perdagangan pun berjalan tanpa harus membuat laporan-laporan yang harus disampaikan kepada pemerintah pusat. Export berjalan dengan mudah dan lancar.
Kelancaran export ini bisa berjalan berkat kebijakan dinasti Qin yang selalu menempatkan rakyatnya didaerah-daerah baru terutama yang telah diduduki. Bahkan penempatan penduduk sudah sampai mendekati Xi Yi 西 域. Tentunya penempatan penduduk dinasti Qin lebih ditujukan untuk memantapkan kekuasaan dinasti Qin di wilayah-wilayah lain terutama yang telah dikuasainya. Dapat dikatakan pada masa dinasti Qin itulah terjadi migrasi yang diatur oleh pemerintah.
Sayangnya sistem ekonomi seperti ini tidak bisa berjalan lancar tanpa ada pemerintah pusat yang kuat dan sistem komando militer terpusat di tangan pemerintah pusat.
Kekayaan para raja muda yang disebabkan kebijakan ekonomi wu wei membuat pemerintah pusat mulai diacuhkan. Bahkan kekayaan raja muda Liu Bi 劉 濞 sudah menyamai kekayaan kaisar Han JingDi 漢 景 帝.
Chao cuo 晁 錯 merasakan bahaya integrasi dan mengusulkan agar mengubah sistem ekonomi Wu wei menjadi you wei jing ji 有 為 經 濟 (catatan: saya artikan ekonomi terkontrol).
Kebijakan ekonomi you wei ini walau belum sempat diterapkan telah memicu pemberontakan 7 raja muda 七 國 之 亂 dan mengakibatkan Chao Cuo dibunuh oleh Han JingDi karena ada hasutan bahwa pemberontakan itu disebabkan oleh Chao Cuo.
2 orang yang mempelopori You Wei JingJi pada masa Han barat 西漢 adalah Jia Yi 賈誼 dan Chao Cuo 晁錯.
Pada kesempatan lain , akan saya ulas sedikit mengenai ekonomi You Wei juga para pemikir pada masa Han yang membuat prinsip-prinsip ekonomi. Salah satunya adalah Sima Qian yang 司馬 遷 kita kenal dengan buku Catatan Sejarah 史 記.
hormat saya,
Xuan Tong
Read more
Tokoh Sejarah: Han Fei Zi
Tokoh Sejarah: Han Fei Zi, legalist pada jaman Chankuo (Warring States era)
Posted on Thursday, June 09 @ 11:36:50 PDT by xuan-tong
Untuk mempelajari strategi dan taktik peperangan, kebijakan pemimpin negara, psy-war dll. adalah dengan membaca buku-buku sejarah kuno Tiongkok sangat luas, belum pernah aku membaca buku yang terdapat begitu banyak variasi yang tidak ada duanya di dunia. Saya kira membaca buku-buku kuno Tiongkok terutama pada jaman Chun-Chiu (772-481 BC musim semi hingga musim gugur) dan jaman Chan-Kuo (481-221 BC, Warring States,Perangan Antar Negara) dan jaman sesudahnya, terutama yang ditulis oleh filosof-filosof dan ahli strategi Tiongkok. Disini aku akan ceritakan sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Han Fei, seorang legalis, penganut undang-undang dan dianggap sebagai ahli hukum yang besar pada jamannya dan seorang pangeran dari keturunan kerajaan Han.
Pangeran Wu dari Negara Cheng akan menyerang Negara Hu, tetangganya yang jauh lebih lemah dari Negara Cheng. Raja dari Negara Hu, yang belakangan ini mengetahui keinginan negara tetangganya yang kuat dan kelemahannya sendiri; untuk menghindari keruntuhan negaranya, raja Hu membicarakan akalnya dengan putrinya lalu menikahkan putrinya yang cantik untuk diambil sebagai istri dari raja Wu. Raja Wu sangat mencintai putri kerajaan Hu yang cantik dan yang dapat memainkan peranannya dengan baik. Karena itu raja Wu memperlemah penjagaan batas-batas dengan kerajaan Hu.
Selang beberapa waktu Raja Wu ingin memperluas kerajaannya dan membicarakan dengan menterinya Kuan Chi-Si, yang Beliau paling percaya sebelumnya dan berkata: ”bapak menteri Kuan, aku ingin menggerakkan tentara, menurut pandangan Anda negara mana yang aku harus serbu terdahulu?” Menteri Kuan menjawab dengan hati yang tulus dan kesetian berkata: ”Kalau paduka akan menyerbu dan memperluaskan negara paduka , saya kira negara Hu-lah yang paduka harus serbu dahulu.” Tanpa terduga Raja sangat marah dan membentaknya: ”Hai, kurang ajar sekali kau, kan kau tahu bahwa negara Hu adalah negara yang berhubungan keluarga dengan negara kita!” Lalu raja Wu berteriak: ”pengawal, mari sini, penggal kepala orang ini yang tidak mengenal norma-norma kebijakan.”
Mendengar ini dari putrinya, raja Hu berkata: ”nah, sekarang aku bisa tidur dengan aman, tanpa kuatir lagi.” Tetapi disampingnya itu dia memperkuat militernya dan menunggu sampai waktunya matang untuk menyerbu negara Wu.
Kemudian negara Hu sudah cukup kuat lalu dia memobilisir tentaranya dan menyerbu dengan tanpa diduga apa-apa oleh raja Wu. Karena kelongaran penjagaan batas antar dua negara ini, raja Wu menyerah kalah pada negara besannya yang mempunyai akal yang busuk dengan mengunakan cara seperti orang Tionghoa mengatakan “Mei-ren Ju”, atau politik menggunakan kecantikan wanita.
Ada lain cerita lain yang bunyinya sebagai berikut: Pangeran Chao sesudah pesta dan terlalu banyak minum arak, Beliau mabuk dan ketiduran dengan pakaian yang tipis pada waktu tidur. Disitu ada dua penjaganya yang satu harus menjaga diluar kamarnya dan yang satu lagi di dalam kamar untuk meladeni pangeran apabila Beliau memerlukan batuannya. Penjaga yang diluar takut kalau pengeran masuk angin, maka Beliau diberi selimut. Pangeran Chao bangun dengan perasaan yang segar karena kehangatan selimut yang meliputi badannya. Untuk ini si pangeran bertanya pada pembantu kamarnya: ”siapakah yang menyelimuti aku tidur? Terima kasih atas pekerjaanmu untuk menyelimuti aku, sehingga aku tidak sampai masuk angin.” Dengan jujur pembantunya ini berkata: ”yang menyelimuti Anda ialah penjaga diluar kamar pangeran.” Pangeran Zhao lalu berkata dengan memberi tahu akan tugas-tugas mereka sebagai berikut: ”Kau melanggar, tidak mengerjakan tugasmu dengan betul, dan kau penjaga keamanan kamar diluar melanggar batas –batas tugasmu. Maka kalian berdua patut mendapatkan hukuman.”
Pelanggaran yang persis seperti diatas terjadi pada jaman tiga negara (San-Kuo) yang dialami oleh Cao-cao, perdana menteri kerajaan, namun hukumannya melebihi dari kepatutan, kesesuaian. Atas kesalahan ini Cao-cao menghukum mati kedua pembantunya untuk menakuti pegawai-pegawai lainnya agar mengerjakan tugas-tugasnya dengan betul, tanpa mempertimbangkan kesetian kedua pegawai itu pada Cao-cao.
Dari cerita tersebut diatas dapat aku simpulkan sebagai berikut: “Menganalisa lalu mengenal kebenaran memang sukar, tetapi mengenal bagaimana mengadakan reaksi balasan yang sesuai atas “sesuatu kebaikan”, itulah yang betul-betul paling sulit.” Maka dari itu intelegensi dan kebijaksanaan adalah dua hal yang berlainan, hanya intelegensi kita tidak dapat mengenal suatu kebenaran sampai mendalam; tetapi dengan mengunakan semua yang ada pada kita, kita dapat mendalaminya dengan menjeluruh.
Dr. Han Hwie-Song
Breda, 19-5-2005 The Netherlands
Read more
Posted on Thursday, June 09 @ 11:36:50 PDT by xuan-tong
Untuk mempelajari strategi dan taktik peperangan, kebijakan pemimpin negara, psy-war dll. adalah dengan membaca buku-buku sejarah kuno Tiongkok sangat luas, belum pernah aku membaca buku yang terdapat begitu banyak variasi yang tidak ada duanya di dunia. Saya kira membaca buku-buku kuno Tiongkok terutama pada jaman Chun-Chiu (772-481 BC musim semi hingga musim gugur) dan jaman Chan-Kuo (481-221 BC, Warring States,Perangan Antar Negara) dan jaman sesudahnya, terutama yang ditulis oleh filosof-filosof dan ahli strategi Tiongkok. Disini aku akan ceritakan sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Han Fei, seorang legalis, penganut undang-undang dan dianggap sebagai ahli hukum yang besar pada jamannya dan seorang pangeran dari keturunan kerajaan Han.
Pangeran Wu dari Negara Cheng akan menyerang Negara Hu, tetangganya yang jauh lebih lemah dari Negara Cheng. Raja dari Negara Hu, yang belakangan ini mengetahui keinginan negara tetangganya yang kuat dan kelemahannya sendiri; untuk menghindari keruntuhan negaranya, raja Hu membicarakan akalnya dengan putrinya lalu menikahkan putrinya yang cantik untuk diambil sebagai istri dari raja Wu. Raja Wu sangat mencintai putri kerajaan Hu yang cantik dan yang dapat memainkan peranannya dengan baik. Karena itu raja Wu memperlemah penjagaan batas-batas dengan kerajaan Hu.
Selang beberapa waktu Raja Wu ingin memperluas kerajaannya dan membicarakan dengan menterinya Kuan Chi-Si, yang Beliau paling percaya sebelumnya dan berkata: ”bapak menteri Kuan, aku ingin menggerakkan tentara, menurut pandangan Anda negara mana yang aku harus serbu terdahulu?” Menteri Kuan menjawab dengan hati yang tulus dan kesetian berkata: ”Kalau paduka akan menyerbu dan memperluaskan negara paduka , saya kira negara Hu-lah yang paduka harus serbu dahulu.” Tanpa terduga Raja sangat marah dan membentaknya: ”Hai, kurang ajar sekali kau, kan kau tahu bahwa negara Hu adalah negara yang berhubungan keluarga dengan negara kita!” Lalu raja Wu berteriak: ”pengawal, mari sini, penggal kepala orang ini yang tidak mengenal norma-norma kebijakan.”
Mendengar ini dari putrinya, raja Hu berkata: ”nah, sekarang aku bisa tidur dengan aman, tanpa kuatir lagi.” Tetapi disampingnya itu dia memperkuat militernya dan menunggu sampai waktunya matang untuk menyerbu negara Wu.
Kemudian negara Hu sudah cukup kuat lalu dia memobilisir tentaranya dan menyerbu dengan tanpa diduga apa-apa oleh raja Wu. Karena kelongaran penjagaan batas antar dua negara ini, raja Wu menyerah kalah pada negara besannya yang mempunyai akal yang busuk dengan mengunakan cara seperti orang Tionghoa mengatakan “Mei-ren Ju”, atau politik menggunakan kecantikan wanita.
Ada lain cerita lain yang bunyinya sebagai berikut: Pangeran Chao sesudah pesta dan terlalu banyak minum arak, Beliau mabuk dan ketiduran dengan pakaian yang tipis pada waktu tidur. Disitu ada dua penjaganya yang satu harus menjaga diluar kamarnya dan yang satu lagi di dalam kamar untuk meladeni pangeran apabila Beliau memerlukan batuannya. Penjaga yang diluar takut kalau pengeran masuk angin, maka Beliau diberi selimut. Pangeran Chao bangun dengan perasaan yang segar karena kehangatan selimut yang meliputi badannya. Untuk ini si pangeran bertanya pada pembantu kamarnya: ”siapakah yang menyelimuti aku tidur? Terima kasih atas pekerjaanmu untuk menyelimuti aku, sehingga aku tidak sampai masuk angin.” Dengan jujur pembantunya ini berkata: ”yang menyelimuti Anda ialah penjaga diluar kamar pangeran.” Pangeran Zhao lalu berkata dengan memberi tahu akan tugas-tugas mereka sebagai berikut: ”Kau melanggar, tidak mengerjakan tugasmu dengan betul, dan kau penjaga keamanan kamar diluar melanggar batas –batas tugasmu. Maka kalian berdua patut mendapatkan hukuman.”
Pelanggaran yang persis seperti diatas terjadi pada jaman tiga negara (San-Kuo) yang dialami oleh Cao-cao, perdana menteri kerajaan, namun hukumannya melebihi dari kepatutan, kesesuaian. Atas kesalahan ini Cao-cao menghukum mati kedua pembantunya untuk menakuti pegawai-pegawai lainnya agar mengerjakan tugas-tugasnya dengan betul, tanpa mempertimbangkan kesetian kedua pegawai itu pada Cao-cao.
Dari cerita tersebut diatas dapat aku simpulkan sebagai berikut: “Menganalisa lalu mengenal kebenaran memang sukar, tetapi mengenal bagaimana mengadakan reaksi balasan yang sesuai atas “sesuatu kebaikan”, itulah yang betul-betul paling sulit.” Maka dari itu intelegensi dan kebijaksanaan adalah dua hal yang berlainan, hanya intelegensi kita tidak dapat mengenal suatu kebenaran sampai mendalam; tetapi dengan mengunakan semua yang ada pada kita, kita dapat mendalaminya dengan menjeluruh.
Dr. Han Hwie-Song
Breda, 19-5-2005 The Netherlands
Read more