Monday, January 23, 2006
Sedikit Pemikiran atas anggapan "Euforia Sekejap Atas Kebudayaan Tionghoa" - by RJ
Zaman reformasi mendatangkan kebebasan bagi suku Tionghoa di Indonesia untuk mengenal, menggali dan melestarikan kembali kebudayaannya setelah represi dan tekanan oleh penguasa terdahulu selama lebih 3 dasawarsa. Kebudayaan Tionghoa yang dimaksud di sini tentu adalah kebudayaan Tionghoa yang sesuai dalam lingkup kebudayaan nasional Indonesia, bukan kebudayaan asli yang harus primordial dari Mainland China, Taiwan, HK atau Macau yang dianggap merupakan tanah leluhur, juga bukan harus bertindak dan berbudaya sebagai mereka. Kebudayaan Tionghoa Indonesia tentu unik dan lain daripada kebudayaan orang Tionghoa di negara asal maupun negara lainnya.
Kebebasan melaksanakan kebudayaan Tionghoa tadi menimbulkan euforia terutama dari suku Tionghoa yang antusias akan kembali hidupnya kebudayaan Tionghoa yang telah lama lenyap. Ini lumrah saja karena kebudayaan Tionghoa terlanjur dianggap dan didoktrin sebagai kebudayaan asing bagi masyarakat Indonesia dan tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia.Ironisnya, banyak dari kita sebagai generasi muda yang mengaku berdarah Tionghoa juga berpikiran seperti itu dan merasa tidak memiliki kebudayaan Tionghoa tadi. Ini terutama adalah orang2 pendukung asimilasi paksa yang beranggapan bahwa kebudayaan Tionghoa harus dibuang jauh2 untuk dapat hidup sebagai seorang Indonesia.
Banyak dari generasi muda Tionghoa ataupun golongan pendukung asimilasi paksa tadi menyikapi dengan sinis kebebasan pelaksanaan kebudayaan Tionghoa setelah zaman reformasi dan tingginya antusias masyarakat atas kebudayaan Tionghoa yang terasa baru dan menarik itu. Mereka menyebutnya sebagai "euforia sesaat yang tak akan bertahan lama". Tidak ada yang perlu digembirakan menurut mereka.
Sekilas nampaknya ini adalah pandangan sinis bagi para pendukung pengenalan dan pelestarian kebudayaan Tionghoa. Namun bagi saya tidaklah demikian. Bagi saya, bila pada suatu saat, antusias masyarakat mulai menurun pada hal2 yang berbau ke-Tionghoa-an dan kebudayaannya, maka ini adalah pertanda bagus. Ini adalah pertanda bahwa kebudayaan Tionghoatelah dapat diterima sebagai bagian dari kebudayaan nasional Indonesia dan bukan sebagai satu kebudayaan asing. Ini berarti kebudayaan nasional Indonesia bertambah kaya dengan masuknya satu kebudayaan suku Tionghoa dalam kehidupan berbudaya masyarakat Indonesia.
Bukankah fenomena ini sama saja dengan tidak asingnya masyarakat Indonesia dengan budaya perayaan Lebaran, Natal ataupun Valentine padahal itu bukan kebudayaan asli Indonesia?Bukankah juga sama saja dengan ketidakasingan masyarakat Indonesia kepada upacara-upacara adat berbagai suku di Indonesia? Indonesia baru ada setelah tahun 1945 dan maka dari itu, seluruh kebudayaan yang ada di dalam Indonesia sebelum pembentukannya harus menjadi bagian integral dari kebudayaan nasional Indonesia dan termasuklah di dalamnya kebudayaan Tionghoa.
Rinto Jiang
Kebebasan melaksanakan kebudayaan Tionghoa tadi menimbulkan euforia terutama dari suku Tionghoa yang antusias akan kembali hidupnya kebudayaan Tionghoa yang telah lama lenyap. Ini lumrah saja karena kebudayaan Tionghoa terlanjur dianggap dan didoktrin sebagai kebudayaan asing bagi masyarakat Indonesia dan tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia.Ironisnya, banyak dari kita sebagai generasi muda yang mengaku berdarah Tionghoa juga berpikiran seperti itu dan merasa tidak memiliki kebudayaan Tionghoa tadi. Ini terutama adalah orang2 pendukung asimilasi paksa yang beranggapan bahwa kebudayaan Tionghoa harus dibuang jauh2 untuk dapat hidup sebagai seorang Indonesia.
Banyak dari generasi muda Tionghoa ataupun golongan pendukung asimilasi paksa tadi menyikapi dengan sinis kebebasan pelaksanaan kebudayaan Tionghoa setelah zaman reformasi dan tingginya antusias masyarakat atas kebudayaan Tionghoa yang terasa baru dan menarik itu. Mereka menyebutnya sebagai "euforia sesaat yang tak akan bertahan lama". Tidak ada yang perlu digembirakan menurut mereka.
Sekilas nampaknya ini adalah pandangan sinis bagi para pendukung pengenalan dan pelestarian kebudayaan Tionghoa. Namun bagi saya tidaklah demikian. Bagi saya, bila pada suatu saat, antusias masyarakat mulai menurun pada hal2 yang berbau ke-Tionghoa-an dan kebudayaannya, maka ini adalah pertanda bagus. Ini adalah pertanda bahwa kebudayaan Tionghoatelah dapat diterima sebagai bagian dari kebudayaan nasional Indonesia dan bukan sebagai satu kebudayaan asing. Ini berarti kebudayaan nasional Indonesia bertambah kaya dengan masuknya satu kebudayaan suku Tionghoa dalam kehidupan berbudaya masyarakat Indonesia.
Bukankah fenomena ini sama saja dengan tidak asingnya masyarakat Indonesia dengan budaya perayaan Lebaran, Natal ataupun Valentine padahal itu bukan kebudayaan asli Indonesia?Bukankah juga sama saja dengan ketidakasingan masyarakat Indonesia kepada upacara-upacara adat berbagai suku di Indonesia? Indonesia baru ada setelah tahun 1945 dan maka dari itu, seluruh kebudayaan yang ada di dalam Indonesia sebelum pembentukannya harus menjadi bagian integral dari kebudayaan nasional Indonesia dan termasuklah di dalamnya kebudayaan Tionghoa.
Rinto Jiang